Selamat Jalan 'Si Burung Merak'

W.S. Rendra
(7 November 1935 - 7 Agustus 2009)

Siapa nyana W.S. Rendra pernah berangan-angan menjadi seorang tentara. Meski sudah rajin menerbitkan kumpulan sajak dan pusisinya sejak masih di bangku SMA, Rendra remaja malah berangan-angan menjadi taruna di Akademi Militer. Namun seolah-olah dituntun takdir sebagai penyair besar cita-citanya kandas, lantaran kemampuannya eksaktanya yang lemah. Ia malah melanjutkan studinya ke Jurusan Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dari sana jiwa seninya semakin terasah bahkan ia sempat memperdalam pengetahuan drama di American Academy of Dramatic Arts, New York (1964 – 1967).

W.S. Rendra yang bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, lahir di Kampung Jayengan, Kota Surakarta pada Kamis Kliwon, 7 November 1935. Ayahnya, Brotoatmojo seorang guru sekolah yang sangat berbakti pada misi agama Katholik. Oleh ayahnya, sejak kecil Rendra dididik untuk menghargai kehidupan yang mandiri sebagai swasta yang bebas dari lembaga pemerintah. Sementara ibunya, Ismadillah mengajarkan dengan tekun peradaban Jawa yang mistik dan religious kepada Rendra. Sang ibu mengajarkan cara mensyukuri panca indera dan melatih kepekaannya melewati kelana, olah tapa dan Samadhi menghayati nafas, kelenjar-kelenjar badan, tata syaraf, daya intuisi dan kehadiran jiwa.

Gabungan dari dua macam aliran pendidikan yang ia dapat pada masa kanak-kanak dan remaja itulah yang banyak berpengaruh kepada wawasannya mengenai dinamika budaya bangsa, emansipasi individu, kedaulatan rakyat, Hak Asasi Manusia, pembelaan kepada daya hidup dan daya kreatif manusia sebagai individu dan sebagai masyarakat, termasuk kepekaannya terhadap masalah-masalah pendidikan dan keadilan social. Hal itu pula yang menyebabkan ia menjadi kontroversial diantara politisi dan budayawan-budayan yang tidak kreatif.
Rendra atau yang biasa disebut Willy, melangkahkan kaki di dunia kesenian sejak menjadi siswa SMA; menulis cerpen, puisi, esei, naskah drama, berdeklamasi dan main drama. Penyair dan Dramawan ini mendirikan grup teater Lingkaran Drama (1962 – 1964), Bengkel Teater 1967 – 1978) keduanya di Yogya, lalu Bengkel teater lagi di Depok, Jawa Barat (1985 – sekarang). Grup teater yang terakhir adalah kristaliasi atau titik tolak pencarian Rendra setelah kembali dari studi di School of Drama, New York University (1978 – 1985) dan setelah keluar dari Penjara selama 10 bulan akibat melibatkan diri dalam aksi-aksi protes. Sebagai manusia dan seniman, Rendra berusaha bersikap sesuai dengan kepercayaanakan nilai-nilai kebebasan dan hati nuraninya. Ia diamati kalangan luas, termasuk birokrat, politisi, militer dan cendekiawan. Penampilannya biasanya tak hanya mempesona tapi juga seperti selalu siap dengan hal yang mengandung kejutan, baik dalam arti kreatif maupun dalam arti social. Ia dijuluki Si ‘Burung Merak’ yang senantiasa menarik kehadirannya, tapi juga yang sekaligus mengundang berbagai kontroversi.

Sebagai penyair W.S. Rendra telah banyak melakukan pembacaan sajak di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Jember, Malang, Pontianak, Medan, Tegal, Ujung Pandang, Rotterdam Amsterdam, Leiden, Aachen, Berlin, Canberra, Melbourne, Adelaide, Perth,. New Delhi, Bhopal, Trivandrum, Kuala Lumpur, Kota Kinabalu, Kuala Trengganu, Kota Bharu, New York, Tokyo, Leuven, dan Praha.

Buku-buku puisi karyanya antara lain; Ballada orang-orang Tercinta (1954), , Empat Kumpulan Sajak (1960), Blues untuk Bonnie (1970), Potret Pembangunan dalam Puisi (1980). Sedangkan karya naskah dan pementasan diantaranya; Orang-orang di tikungan Jalan (1954), Tanda Silang Eugene o Neal, Martodon dan Burung Kondor (1969), Macbeth (1970), Hamlet (1971), Pangeran Homburg (1972), Menunggu Godot (1973), Qasidah Berzanji (1974), Lysistrata (1975), Kisah Perjuangan Suku Naga (1975), Egmont (1975), Perampok (1976), Sekda (1977), Panembahan Reso (1986), Oedipus (1987), Selamatan Anak Cucu Suleiman (1988) dan Buku Harian Seorang Penipu (1989).

W.S. Rendra juga menerjemahkan trilogi tragedy karya Sophocles : ‘Oedipus Rex’, ‘Antigone’, dan ‘Oedipus di Colonus’ dan dua tragedy karya Shakespeare: ‘Hamlet’ dan ‘Macbeth’. Sementara di dalam seni drama Rendra sangat terpengaruh oleh bentuk teater rakyat dan teater tradisional Jawa dan Bali. Namun begitu ia tidak menjiplak bentuk-bentuk tradisional itu, melainkan metabolism dari daya kreatifnya ia melakukan perombakan atau pengembangan yang dituntut oleh kesadaran pikirannya yang modern. Metode latihan seni teater yang ia ciptakan sebagai penerusan dari tradisi Kejawen dan Yoga Cina telah dianut dan dijalankan oleh hampir semua grup teater kontemporer di Indonesia. Bahkan mendapat sambutan yang hangat dari kalangan seniman teater di Australia, Jepang, Malaysia, waktu ia mengadakan workshop di negara-negara tersebut.

Berbagai penghargaan yang telah ia terima antara lain; Hadiah dari Badan Musyawarah Kebudayaan nasional untuk kumpulan sajaknya ‘ Ballada Orang-orang Tercinta’ (1975), Anugerah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1969), Hadian dari Akademi Jakarta untuk karya-karyanya selama kurun waktu 1970 – 1975 (1975), Penghargaan Adam Malik dalam bidang kesenian (1989), Wertheim Award untuk perjuangan hak-hak asasi Manusia dalam bidang kesenian (1991), Hadiah Hendar Fahmi Ananda dari senat mahasiswa universitas Mataram Lombok untuk perjuangan Hak-hak Asasi Manusia dan Demokrasi, The S.E.A Write Award untuk kumpulan sajak ‘Orang-orang Rangkasbitung’ (1997) serta Penyair terbaik dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1996).

Sementara itu sandiwaranya bertajuk ‘Mastodon dan Burung Kondor’ dan ‘Kisah Perjuangan Suku Naga’ sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Kumpulan sajaknya ‘ Blues untuk Bonnie’ dan ‘Potret Pembangunan Dalam Puisi’ sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan belanda. Buu antologi ‘Sajak-sajak Pilihan’ juga sudah ditejemahkan dan diterbitkan di belanda, Jerman, Jepang, Rusia, Sanksrit, Hindi, Urdu dan Malaysia. Sementara secara eceran ada juga sajak-sajaknya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis, Bulgaria, Czech, dan Korea.

Selain melahirkan tradisi sastra dan teater yang berpengaruh, Dewan Kesenian Jakarta, DKJ menganggap W.S. Rendra sebagai salah seorang sastrawan Indonesia yang meninggikan martabat bangsa. Untuk itu secara khusus, DKJ pernah menggelar acara bertajuk ’70 Tahun Rendra : Menimbang Gerakan Kebudayaan Rendra’ pada perayaan ulang tahunnya yang ke-70 pada 2005 silam.

Selamat jalan sahabat!

diambil dari sini: Selamat Jalan 'Si Burung Merak'

Share:

1 comment:

  1. siapa lagi yg peduli akan orang-orang miskin?
    siapa lagi yg peduli akan alam?
    siapa lagi yg peduli akan konsistensi bangsa?
    siapa lagi yg peduli akan keadilan?
    siapa lagi yg peduli akan jalannya pemerintahan?
    siapa lagi yg peduli akan kebudayaan?
    siapa lagi yg peduli akan sastra & seni sejati?
    sia[a lagi yg peduli akan nasib bangsa ini?
    sungguh aku, kamu & bahkan kita sekalian...telah ikhlas melepas sang burung merak terbang dipanggil Kekasihnya.
    sungguh aku, kamu & bahkan kita sekalian...telah mengalami kedukaan yg mendalam ditinggal lebih dulu.
    sungguh aku, kamu & bahkan kita sekalian...telah lalai & alpa akan nilai2 yg telah disampaikan WS.Rendra, karna kita terlelap oleh budaya konsumtif yg menjerumuskan...
    aku tdk mengenal secara pribadi dgn WS.Rendra...tapi karya2nya selalu di kalbu, selalu membuatku berfikir dan mendapatkan banyak pesan2 kebaikan, pencerahan...

    ReplyDelete