Showing posts with label kliping. Show all posts
Showing posts with label kliping. Show all posts

Tersisih (di balik layar)



Perhatikan kalau belum bisa, hehehe...
sebuah proses panjang dan semoga menyusul yang berikutnya, 2011 in action

Maha Satpam ( Emha Ainun Nadjib )

Tanya jawab pengajian itu menjadi hangat. Tak disangka tak dinyana anak muda berpeci yang lehernya berkalung sajadah itu meningkatkan nada suaranya.

“saya sangat kecewa dan memprotes keras mengapa Bapak bersikap sedemikian lunak kepada orang-orang yang datang kekuburan untuk minta angka-angka buntutan!” ia menuding-nuding. “Itu jelas syirik. Saya sebagai warga organisasi Islam yang sejak kelahirannya memang bermaksud memberantas segala takhayul, bid’ah, khurafat, dan syirik, akan terus memberantas gejala-gejala semacam itu dalam masayarakat kita sampai titik darah penghabisan!”

Bapak ustadz terkesima.

Isi pemikiran pemuda itu aneh, meskipun bukan tidak menggelisahkan. Namun “semangat juangnya”-nya ini! Apakah ia baru saja membaca sajak Cjairil Anwar “AKU” atau “Persetujuan dengan Bung Karno” sehingga voltase darahnya meninggi? Tapi marilah bersyukur. Ini yang namanya sukses pewarisan nilai dan semangat perjuangan dari kader yang satu ke kader generasi yang lain. Prosporsi di mana dan untuk soal macam apa semangat itu mesti diterapkan, adalah soal kedua.

“Adik manis, maafkan kalau saya memang khilaf,” bapak ustadz berkata dengan lembut,” Tetapi sesungguhnya aspirasi kita tidak terlampau berbeda. Saya juga bermaksud tidak menularkan kebiasaan orang-orang tua untuk bersifat terlalu dingin terhadap gejala-gejala itu. Tetapi nyuwun sewu, saya melihat ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pernyataan anda tadi ibarat memasukkan sambal ke dalam es dawet…”

Para jamaah tertawa, meskipun pasti mereka belum mengerti maksudnya.

“Syirik ya syirik, tapi orang masuk kuburan kan macam-macam maunya. Ada yang mau mencuri tengkorak, ada yang sembunyi dari tagihan rentenir, ada yang sekedar menyepi karena pusing bertengkar terus dengan istrinya yang selalu meminta barang-barang seperti yang dibeli tetangganya. Terus terang saya juga sering masuk kuburan dan nyelempit di balik gerumbul-gerumbul karena sangat jenuh oleh acara macam yang kita selenggarakan malam ini, jenuh diundang kesana kemari untuk sesuatu yang sebenarnya tidak jelas. Jenuh meladeni pertanyaan-pertanyaan yang khas kaum muslimin abad ke-20 dari soal ‘apa hukum merangkul rambut’ sampai memandang wanita itu zina atau tidak’, atau jenuh oleh pikiran-pikiran puber yang akrobat pikiran intelektualnya over dosis. Kejenuhan itu sendiri sunnatullah atau hukum alam. Tuhan mengijinkan kita untuk merasa jenuh pada saat tertentu sebagai bagian dari peran kemanusiaan. Apakah buang jenuh di kuburan itu syirik?”

“Bukan itu maksud saya!” teriak sang pemuda, “Saya berbicara tentang orang yang meminta-minta di kuburan.”

“Baiklah,” lanjut bapak ustadz. “Syirik itu letaknya di hati dan sikap jiwa, tidak dikuburan atau di kantor pemerintah. Sebaiknya kita jangan gemampang, jangan terlalu memudahkan persoalan atau gampang menuduh orang. Saya terharu anda bersedia memerangi syirik sampai titik darah penghabisan, namun saya juga prihatin menyaksikan Anda bersikap begitu sombong kepada orang miskin…”

“Apa maksud bapak?” sang pemuda memotong.

“Bikinlah proposal untuk minta biaya meneliti siapa saja sebenarnya yang suka mendatangi kuburan, terutama yang menyangkut tingkat perekonomian mereka. Kita memang tahu para pejabat suka berdukun ria dan para pengusaha mendaki Gunung Kawi, tapi siapakah umumnya yang berurusan dengan kuburan untuk menggali harapan penghidupan? Saya berani jamin kepada Anda bahwa 90% pelanggan kuburan adalah orang-orang yang kehidupan ekonominya kepepet. Orang seperti anda ini saya perhitungkan tidak memerlukan kuburan karena wesel dari orang tua cukup lancar. Disamping itu syukurilah posisi sosial anda. Anda termasuk diantara sedikit anak-anak rakyat yang beruntung, memiliki peluang ekonomi untuk bisa bersekolah sampai perguruan tinggi. Karena anda sekolah sampai perguruan tinggi maka anda menjadi pandai dan mampu mengelola kehidupan secara lebih rasional. Harapan anda untuk menjadi pelanggan kuburan termasuk amat kecil. Anda akan menang bersaing meniti karier melawan para tamatan sekolah menegah, para DO atau apalagi para non-sekolah. Kalaupun kemudian menjumpai persoalan-persoalan umum yang menyangkut ketidakadilan ekonomi, misalnya, Anda bukan merencanakan berkunjung ke makam Sunan Beginjil, melainkan bikin kelompok diskusi yang memperbincangkan kepincangan ekonomi dan kemapanan kekuasaan politik…”

Seperti air bah kata-kata bapak ustadz kita meluncur.

“Kalaupun anda ogah terlibat bekerja dalam jajaran birokarsi kekuasaan atau tempat-tempat lain yang anda perhitungkan secara sistematik mendukung kemapanan itu, anda masih mempunyai peluang non-kuburan, misalnya, bikin badan swadaya masyarakat. Langkah pertama dari gerakan ketidaktergantungan itu ialah merintis ketergantungan terhadap dana luar negeri dimana anda bisa numpang makan, minum, merokok, dan memberi celana baru. Langkah kedua, menigkatkan kreativitas proposal agar secara pasti anda bisa memperoleh nafkah dari gerakan itu. Dan langkah ketiga, menyusun kecanggihan lembaga anda sedemikian rupa sehingga anda sungguh-sungguh bisa mengakumulasikan kekayaan, bikin rumah, beli mobil, dan memapankan deposito. Juklak saya untuk itu adalah umumkan ide-ide sosialisme perekonomian sebagai komoditi kapitalisme perusahaan swadaya masyarakat Anda. Kemiskinan adalah ekspor non-migas yang subur bagi kelompok pembebas rakyat di mana anda bisa bergabung…”

Bapak ustadz kita sudah tidak tebendung lagi.

“Dengan demikian anda bisa selamat dari budaya kuburan sampai akhir hayat. Hal-hal semacam itu tidak bisa dilakukan oleh orang-orang miskin yang hendak Anda berantas syiriknya itu. Mereka tak mampu membuat proposal, takut kepada Camat dan Babinsa, karena bagi mereka lebih mengerikan dibandingkan dengan hantu-hantu kuburan. Satu-stunya kesanggupan revolisioner yang masih tersisa pada orang kecil yang melarat adalah minta harapan secara gratis ke kuburan.”

Suasana pengajian menjadi semakin senyap.

“Bapak ini ngomong apa?” potong sang pemuda lagi.

“Kepada siapa dan apa sajakah Allah Cemburu pada zaman ini? Siapakah atau apakah yang di tuhankan orang di negeri Anda ini? Apa yang didambakanorang melebihi Tuhan? Apa yang sedemikian menghimpit memojokkan menindih orang seolah-olah berkekuatan melebihi Tuhan? Apa dan siapa yang mendorong orang tunduk, patuh, dan loyal sepenuh hidup kepadanya melebihi Tuhan? Apa yang memenuhi pikiran orang, memenuhi perasaan dan impian orang lebih dari keindahan /tuhan? Lihatlah itu, pikiran sosial Anda, pikiran politik Anda, pikiran ekonomi anda, perhitungan struktural Anda…”

Suara bapak ustadz kita menjadi agak gemetar meskipun nadanya meninggi.

“Beranikah Anda berangkat memberantas syirik-syirik besar yang dilatari oleh kekuasaan, senjata, dan fasilitas? Beranikah anda berperang melawan diri Anda sendiri untuk mengurangi sikap gemagah kepada orang-orang lemah? Sanggupkah Anda mengalahkan obsesi kehidupan Anda sendiri untuk merintis peperangan-peperangan yang sedikit punya harga diri?”

Napas mulai agak-agak ersenggal-senggal.

“Anda begitu bangga menjadi satpam kehidupan orang lain. Bahkan anda tampak bermaksud menjadi maha satpam yang memberantas syirik sampai titik darah yang terakhir. Tetapi anda menodongkan laras senjata Anda ke tubuh semut-semut yang terancam oleh badai api sehingga menyingkir ke kuburan kecil. Itu karena mata pengetahuan anda tak pernah di cuci kecuali oleh ulama-ulama yang memonopoli kompetisi pemikiran keagamaan, padahal mereka begitu pemalas mencuci mata umatnya, kecuali untuk soal-soal yang menyangkut kepentingan posisi mereka. Anda sudah tahu wajib, sunnat, halal, makruh, dan haram, tetapi itu hanya diterapkan untuk hal-hal yang wantah. Anda hanya bertanya orang sudah sholat Isya atau belum, orang ke kuburan atau tidak, si keponakan sudah pakai jilbab atau belum. Anda tidak merintis penerapan kualifikasi hukum lima itu untuk persoalan-persoalan yang lebih luas. Anda tidak pernah mempersoalkan bagaimana sejarah politik perekonomian dari tikar plastik yang setiap hari anda pakai sembahyang. Anda marah kenapa Cristine hakim tidak pakai jilbab padahal ia muslimah, tetapi telinga anda tuli terhadap kasus penggusuran, terhadap proses pembodohan lewat jaringan depolitiasi, terhadap proses pemiskinan, terhdap ketidakadilan sosial yang luas. Anda tidak belajar tahu apa saja soal-soal yang kualitasnya wajib dalam perhitungan makro struktural. Anda hanya sibuk mengincar orang masuk kuburan. Anda merepotkan diri mengurusi sunnah-sunnah dan tidak acuh terhdap kasus-kasus yang wajib respon sifatnya…”

“Pak! Mengapa jadi sejauh itu…?” sahut sang pemuda.

“Dengar dulu, anak muda!” tegang wajah sang bapak. “Itu yang menyebabkan anda tidak memiliki perhitungan yang menyeluruh untuk akhirnya menemukan hakekat kasus syirik yang sebenarnya. Anda hanya sanggup melihat seorang mencuri. Anda hanya tahu bahwa mencuri itu hukumnya haram, padahal melalui relativitas konstek-konteks, pencuri itu bisa halal sifatnya…”

“Apa-apaan ini, Pak?” sang pemuda nyelonong lagi.

“Kita ini dibesarkan dalam kekalahan-kekalahan. Dalam rasa ketidakmungkinan menang, subyektivitas kita tumbuh subur. Kalau kita becermin dan menjumpai wajah kekalahan di biliknya, kita ciptakan kemudian cermin yang mampu menyodorkan halusinasi kemenangan kita. Kalau kita tak punya biaya naik haji, naiklah kita ke puncak Gunung Kuripan dan merasa telah naik haji. Kalau tak sanggup perang melawan kekuatan manusia, kita cari tuyul untuk kita taklukan. Kalau tak ada juga peluang untuk tampil di panggung sejarah, kita berduyun-duyunlah dipanggung narkotik kebudayaan di bidang ndangdut, diskotik si Boy, atau mengangkat seorang pencoleng menjadi dermawan sehingga hati tehibur. Kalau risi berpegang pada pilar-pilar kufur dan tak sanggup bersandar pada udara, maka melianglah kita pada lubang sempit pengetahuan keagamaan kita yang mualaf dan nadir. Kita tak kuat naik gunung, kita susun gunung-gunung dalam tempurung. Naluri kekuasaan kita tumpahkan dalam tempurung. Kita menjadi “negara” dalam pesta syariat dangkal umat di sekeliling kita. Kita mengawasi muda-mudi yang berboncengan motor, kita menelepon pasien-pasien kita di pagi buta apakah ia sudah sholat shubuh, kita sholat jamaah sambil melirik apakah orang di samping kita sudah cukup kusuk sholatnya. Kita menjadi puritan, menjadi “manusia amat lokal”. Kita mendirikan kekuasaan baru dimana kita adalah penguasanya…”

Sang pemuda tak bisa tahan lagi, “Maaf, Pak! Berilah saya sedikit peluang…”

Tapi air bah terus tumpah ke bumi. ***

 dari Buku "Slilit Sang Kiai", Grafiti, 1992

 bisa dilihat juga di sini


foto ketika wawancara di Balai Kota Kediri 2007
 

gus jakfar (Cerpen karya kh ahmad mustofa bisri)

 [kliping]


 Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.

"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. 

"Saya sendiri tidak paham apa maksudnya."
"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. 

"Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?'. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya."

"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal."

"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."

"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara. "Waktu itu, tak ada hujan tak ada angina, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi."

"Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
"Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu."
***
Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.

"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?"

"Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu;" kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah."

"Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau."

Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut.

Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan."
"Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah."

"Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau."

"O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.

"Kalian ingat, saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing."

"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk."

'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?'

'Kiai Tawakkal.'

'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.'

"Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu."

"Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."

Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!"

"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka."

"Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya."

"Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang."

"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.

'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!' Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan".

"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."

"Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah."

'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya."

"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.'

Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.

'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?'

Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak'

Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.

'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini."

"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.'

'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru.

'Mana saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.'

Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri."

Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya.

Rembang, Mei 2002

MENGEMBANGKAN BUDAYA SANTUN (D. Zawawi Imron )

 [kliping]

Makalah Pidato Kebudayaan 2007

Paling tak enak, konon, makhluk Tuhan yang disebut manusia. Pasalnya, kalau makan harus cari yang halal, kalau mau berpasangan harus nikah, dalam hidup keseharian pun harus memakai pakaian. Perhatikan kambing, kerbau, ular, kecoak dan binatang lainnya, tidak memakai pakaian tidak apa-apa.

Pendapat seperti itu tentunya boleh-boleh saja, kita tidak boleh marah, karena marah tidak bisa menyelesaikan masalah. Pendapat yang demikian itu, mungkin karena ia merasa hidup ini terlalu banyak rambu-rambu moral. Sehingga orang tidak bebas seenaknya seperti binatang. Kemudian ia merasa iri terhadap binatang yang bisa bebas berbuat apa saja. Harimau menerkam kancil tidak ada hukum yang akan mempermasalahkannya, kijang memacari adik kandungnya sendiri tetap sempurna sebagai kijang. Ayam suka bertarung dengan saudaranya sendiri, tidak akan pernah ada yang memecatnya berhenti menjadi ayam. Sebab memang begitulah sempurnanya peri kebinatangan.

Sedangkan kalau menjadi manusia, dari kecil sudah harus sekolah, harus pintar, harus jujur, harus sopan, harus mandi, harus pakai sabun, harus bikin rumah, harus bikin kapal penyeberangan, harus bikin pabrik, harus demokratis, harus cantik, harus ganteng, harus santun dan puluhan ribu harus yang lain. Kayaknya hidup ini hanya untuk melakukan harus dan harus saja.

Padahal harus yang positif itu tak lebih dari tuntutan kepentingan manusia itu sendiri, agar hidup lebih nyaman dari pada bergaya semau gue yang tanpa keharusan untuk bertanggung jawab terhadap kemanusiaan. Harus itu mungkin semacam “perjanjian” manusia dengan kemanusiaannya sendiri agar manusia itu mampu menemukan bahagia yang sejati. Yaitu hidup sebagaimana layaknya manusia, tidak pinjam gaya yang telah umum dipakai oleh moyet dan gorila.

Jadi, dengan menghindari diri dari berlagak dengan gaya binatang, sebenarnya seorang manusia hanya menjalankan kodratnya sebagai manusia. Apa sulitnya seorang manusia menjalankan kodratnya sebagai lazimnya manusia?

Menjawab pertanyaan itu mungkin mudah, tapi mungkin pula susah. Kata-kata bisa saja meluncur memberi jawaban yang sementara bisa dianggap benar, tapi apa manfaatnya sebuah jawaban dengan kata-kata, kalau perbuatan saya masih juga berbeda dengan yang saya ucapkan. Itu bisa terjadi karena “lidah memang tidak bertulang.”

Berbicara kefasihan, meskipun kefasihan konkret dalam bentuk perbuatan yang jelas memuliakan manusia, dalam bidang kebudayaan kita tidak bisa meremehkan kefasihan estetik. Yaitu kefasihan dalam bahasa keindahan yang menunjukkan kemuliaan hati manusia, yaitu seni.

Kefasihan itu dimiliki oleh para seniman, yang berangkat dari hatinya yang indah. Kefasihan estetik adalah hasil dari proses kreatif para seniman untuk mengekpresikan dirinya (dalam hal ini pengalaman hidup lahir batin) dalam karya-karya yang sesuai dengan bakat-bakat pribadinya.

Proses olah pikir dan olah rasa seniman dalam membawa suara kehidupan, pada satu sisi adalah penghormatan dan rasa syukur sang seniman atas anugrah yang berupa bakat dan talenta yang diberikan Tuhan kepadanya. Pada awal olah seni (proses kreatif) disadari atau tidak ada langkah yang ditempuh untuk menempuh jalan syukur. Syukur itu bentuk terima kasih yang dimaknai memanfaatkan rahmat Tuhan yang berada dalam diri. Tidak menghargainya, akan mengurangi nilai kreatif dan sekaligus menolak untuk kreatif, dan itu sama dengan menolak memihak kehidupan.

Karena itu mengembangkan diri secara kreatif, bagi pribadi masing-masing seniman merupakan tanggung jawab kekhalifaan sebagai makhluk mulia yang jauh lebih mulia dari makhluk Tuhan yang lain. Berbicara tentang pribadi, kreatifitas itu sendiri menuntut seseorang untuk menemukan (yang sesungguhnya mencari dengan kesungguhan) ekspresi yang merupakan representasi dari dirinya sebagai pribadi yang hadir ke dunia. Perjuangan kreatif memberi makna bagi hidup seperti ini penuh dengan aneka tantangan yang kesakitan. Domisili, sarana, rujukan, kawan dan lawan dialog kadang bisa menjadi hambatan, tapi tidak mustahil juga bisa mendorong lajunya kreatifitas. Semua itu akan menjadi romantika, bahwa sukses itu pada umumnya adalah milik orang yang sungguh-sungguh dan tabah untuk naik dari satu jenjang ke jenjang berikutnya sekaligus memberi harkat kepada umur dan kehadirannya.

Ketika karya seni itu berhadapan dengan masyarakat, sebuah karya kadang disalahfahami sehingga berhadapan dengan pelarangan, pencekalan, dan bahkan pemasungan. Sebuah hasil kreatif yang dipersembahkan kepada masyarakat dan kemanusiaan ternyata harus dikuburkan. Namun, karya seni sebagai suara kebenaran estetik dan sebagai suara kemanusiaan sebagian sulit untuk dikubur. Karya sastra yang dilarang justru lebih banyak dibaca orang dengan digandakan memakai fotokopi. Sebuah karya sastra yang dilarang semakin menarik dan menggoda untuk dibaca. Berbeda dengan lukisan dan patung kalau dibakar dan dihancurkan bisa tamat riwayatnya. Sang seniman tentu merasakan kepedihan. Tapi ada pula yang arif bisa menikamati kekecewaan, karena sebagai manusia kreatif ia tidak mau memberhalakan kesedihan. Dari sini kekecewaan dan kepedihan bisa menjadi landasan kreatif untuk menghasilkan karya-karya yang lebih baik.

Kebebasan dan pemberian ruang yang luas kepada karya-karya kreatif adalah penghargaan kepada kemanusiaan. Dalam iklim berkeseniman yang sehat, biarlah sang seniman itu sendiri melakukan pencekalan bagi dirinya, karena ia sendiri yang tahu untuk berbuat dan tidak berbuat. Kearifan kemanusiaan serta kedekatan kalbu seorang seniman dengan Tuhan yang berupa kecerdasan spiritual, akan melahirkan karya-karya yang bukan hanya menyenangkan tetapi mencerdaskan dan mencerahkan.

Meskipun seniman itu manusia kreatif, tidak berarti di luar kesenimanan tidak ada kemuliaan dan keindahan. Para penemu di bidang pendidikan, kedokteran, teknologi, dan lain-lain, termasuk Pak Mudjair yang menemukan ikan laut yang bisa diternakkan di darat, adalah kreator-kreator yang pantas dihormati. Semua sektor dan semua profesi tentu mulia, asalkan bermanfaat bagi kemanusiaan. Penghargaan kepada profesi lain seperti itu menunjukkan sikap dewasa, bahwa sang seniman dapat membebaskan dirinya dari godaan arogansi.

Dari sini diperlukan kerendahatian para seniman, bahwa kesenimanan itu adalah salah satu sektor dari pengabdian kepada kemanusiaan. Kerendahhatian seperti ini akan menghapus kesalahfahaman antara seniman dengan masyarakat dan antara seniman yang satu dengan seniman yang lainnya. Ketika nurani dikembangkan dalam keindahan rasa kemanusiaan, musuh seorang terasa banyak, dan teman seribu terasa sangat sedikit.

Kemanusiaan akan terasa indah bila dalam merumuskannya tidak selalu dengan kata-kata. Perbuatan-perbuatan santun yang membuat diri dan orang lain merasa enak dan nyaman meskipun itu dilakukan seorang bisu, akan menjadi bahasa kemanusiaan yang penuh kefasihan. Tindakan yang nyata dan bermakna bisa lebih fasih dari sejuta untaian kata.

Maka, tidak heran kalau pada zaman dahulu kala, dikisahkan ada filsuf yang pergi mengembara dari satu daerah ke daerah yang lain, dari satu lembah ke lembah yang lain, dari satu kota ke kota yang lain, dengan obor di tangan baik siang maupun malam. Setelah ada seseorang bertanya, apa yang ia cari, ia lalu menjawab: “Saya sedang mencari manusia.”

Orang yang bertanya jadi tertunduk. Ia mulai introspeksi, pantaskah dirinya mengaku manusia? Berdasarkan perilakunya sehari-hari, orang itu merasa malu mengaku, bahwa dirinya manusia. Itu pada zaman dahulu kala. Pada zaman modern ini, setiap manusia perlu bertanya kepada dirinya sendiri, manusiakah diriku ini?

Kita sekarang mencoba bertemu sekelompok besar manusia yang disebut rakyat. Mereka kebanyakan hidup di pedesaan, dengan pikiran dan cara hidup yang sederhana. Tidak mustahil kalau mereka banyak yang miskin. Merekalah yang kalau ada peringatan hari kemerdekaan, ada panitia yang menanamkan pohon pinang yang dianggap layak jadi tontonan.

Pohon pinang yang dilincinkan seperti betis Ken Dedes serta diberi pelumas itu di puncaknya digantung dua buah kopiah, dua buah sarung, empat kerudung wanita, dan entah berapa lembar kaos oblong serta kaos singlet. Siapa pun boleh memanjat pohon itu, tapi yang paling banyak adalah orang miskin yang ingin mendapatkan benda-benda yang disukainya. Karena sangat licinnya, baru setengah meter naik sudah meluncur ke tanah lagi. Para penonton lalu bersorak kegirangan. Untuk sampai ke puncak pohon pinang itu dibutuhkan perjuangan berjam-jam, lalu kemudian orang-orang miskin itu meraih salah satu barang yang diidamkannya.

Begitulah kebiasaan di beberapa tempat di negeri kita selama berpuluh tahun yang entah kapan dimulainya. Tapi itulah kira-kira gambaran kesulitan orang miskin dalam meraih rejeki dan kesejahteraan yang dikemas menjadi tontonan gratis. Nonton betapa sulitnya jadi rakyat miskin.

Berpikir dengan disiplin ilmu model apa saja, kemiskinan itu memang tidak merdu didengar, apalagi dialami sendiri. Artinya, orang yang sekadar melihat orang miskin tidak akan sama pengalaman pahitnya dengan si miskin itu sendiri. Meskipun kadangkala, seorang yang tidak miskin menyaksikan orang miskin kalbunya tergetar oleh rasa terenyuh atau haru. Susah yang dirasakan orang miskin bisa berlipat ganda, bayangkan kalau anak-anak dan istrinya sehari makan dan sehari tidak, sementara orang menagih utang bergantian. Merekalah yang perutnya sakit seperti penuh dengan pecahan gelas-gelas kaca. Usaha mendapatkan penghasilan sudah diupayakan ke sana ke mari, tapi terganjal oleh sistem dan struktur sosial yang kuat.

Maka, betapa pentingnya kita mencerahkan kalbu agar punya simpati dan empati terhadap kemiskinan. Penghayatan jiwa kemanusiaan yang dalam, dilukiskan Sutardji Calzoum Bachri, yang tertusuk padamu berdarah padaku. Penghayatan kemanusiaan bahwa derita seorang anak manusia hakikatnya adalah kesakitan seluruh umat.

Apresiasi terhadap kemiskinan itu, setiap saat bentuknya bisa berbeda. Perangkat-perangkat afeksi, seperti kalbu dan syaraf-syaraf perasaan tentu harus dipasang baik-baik sehingga terasa bahwa dalam bagian yang hakiki dari ruh ada kelenjar yang jatuh. Yaitu kelenjar kemanusiaan atau kelenjar persaudaraan, bahwa antara diri dengan orang lain baik yang miskin maupun yang kaya ada benang persaudaraan yang menghubungkan keduanya. Itulah jiwa-jiwa yang terpadu dalam kemanusiaan yang dicerahkan dengan percikan sinar Ilahi.

Pendekatan jiwa kepada kaum miskin itu perlu kelanjutan pendalaman spiritualitas agar apa yang kita miliki menjadi siap untuk selalu membuat orang miskin dan orang lain tersenyum, karena di dalam diri telah kental spirit seperti yang dilukiskan ucapan penyair Al-Ma’ary: “Janganlah hujan membasahi ladangku kalau tidak menyiram seluruh bumi.” Manusia yang sehat rohaninya akan berupaya menjadi agen perpanjangan dari kasih sayang Tuhan.

Dalam memandang kemanusiaan itu ada ucapan Sayidina Ali bin Abi Thalib yang pantas untuk direnungkan, “Tidak lapar orang miskin kecuali karena rakusnya orang kaya.” Menurut pemahaman ini, sebenarnya rezeki dari Tuhan untuk manusia telah cukup. Tapi kenapa ada orang miskin? Ialah karena ada orang-orang yang mengambil lebih banyak sampai banyak orang lain tidak mendapat bagian rejeki; atau karena tidak ada keadilan di bidang sosial dan ekonomi. Padahal dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Untuk itu perbaikan nasib rakyat miskin atau menghormati rakyat miskin harus menjadi agenda utama pemerintah dan harus mendapat dukungan yang tulus dari orang-orang yang hidupnya lebih beruntung. Dukungan tersebut tidak hanya dukungan moral, tetapi berupa berupa tindakan-tindakan konkret yang benar-benar membuat orang miskin bisa menolong dirinya sendiri. Tindakan menyantuni orang miskin itu pasti selaras dengan substansi kepahlawanan.

Feodalisme yang membagi manusia menjadi “orang besar” dan “orang kecil” (wong cilik) jelas bertentangan dengan persamaan hak dan melanggar kesantunan; kebiasaan terlambat hadir kalau ada pertemuan dan undangan, serta berlonggar-longgar dalam menghargai waktu, jelas tidak sesuai dengan prinsip efisiensi dan asas disiplin; kebiasaan makan-makan di tengah keluarga miskin ketika hari duka ditinggal mati salah seorang anggota keluarganya akan semakin menyengsarakan orang miskin; kado dan upeti yang dipersembahkan kepada atasan bisa melestarikan budaya sogok, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menyegarkan tradisi santun itu adalah bagian dari perjuangan kebudayaan.

Kearifan kata-kata juga bisa berupa dongeng atau cerita rakyat lainnya. Dongeng — kegiatan sastra bertutur yang hidup di tengah-tengah masyarakat agraris — sinkron sekali dengan alam pedesaan dengan angin yang mendesir. Di malam hari, tikar digelar di halaman rumah bersamaan dengan munculnya bulan purnama. Kemudian nenek atau kakek mendongeng yang dikelilingi cucu-cucunya yang tercinta. Pada saat itu terjadilah proses rekatan kekerabatan yang sublim yang bisa semakin menghaluskan perasaan dan rasa kasih sayang. Selain itu, dongeng sangat membantu rasa sayang kepada binatang dan tumbuh-tumbuhan bila dongengnya berupa fabel yang mengisahkan kehidupan binatang.

Rasa kemanusiaan saya jadi sedih oleh dongeng “Si Kancil” binatang yang dianggap tokoh cendekia padahal ia penipu yang tidak berjiwa. Banyak orang bersimpati pada kecerdikan Kancil, tapi empati saya justru kepada binatang yang ditipu Kancil. Ternyata kecerdikan Kancil bisa digunakan untuk mencelakakan sesama binatang. Anehnya, tipu daya seperti itu sesekali dilakukan juga oleh cendekiawan manusia. Kenyataan telah bicara, beberapa cendekiawan kita ada yang telah mengkhianati hati nuraninya sendiri dengan berbuat merugikan negara dan rakyat.

Dalam wacana budaya, kalau kita kreatif memahami tradisi, kearifan itu dapat mengingatkan kita pada kehidupan masa kini kita. Dalam sebuah Lontara (kitab sastra Bugis-Makassar) terdapat dialog antara penguasa dengan rakyat sebagai berikut:

Karaeng Bajo: “Engkau telah angkat kami sebagai rajamu. Kami bersabda dan engkau tunduk-patuh. Kami adalah angin dan engkau adalah kayu.”

Paccalaya dan Kasuwiyang Salapanga menjawab: “Engkau adalah angin dan kami adalah daun kayu. Akan tetapi, hanya daun kayu yang telah menguning sajalah yang engkau turunkan. Engkau tidak akan mengambil ayam dari kandang kami. Jika engkau menginginkan barang kepunyaan kami, engkau membelinya dengan harga yang patut dibeli.”

Perhatikan kalimat, “hanya daun kayu yang menguning sajalah yang engkau turunkan,” menunjukkan betapa manusia dituntut santun walaupun terhadap tumbuh-tumbuhan. Sejalan dengan itu, agama juga mengingatkan bahwa salah satu tugas manusia di dunia adalah menjadi khalifah yang merawat bumi, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang berbunyi: “… Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi dan menugaskan kamu sebagai pemakmurnya,…” (Q.S. Hud, 11 : 61).


Secara teologis, memakmurkan bumi bukan sekedar mencari makan. Hakikinya, tindakan itu adalah sebagai bentuk persahabatan antara manusia dengan alam. Bahkan dalam budaya Minangkabau, alam bukan hanya sahabat, tapi “alam terkembang jadi guru.”

Kemakmuran akan melahirkan konsekuensi logis berupa terpenuhinya kebutuhan pokok hidup manusia. Upaya memakmurkan bumi atau tanah air yang didasari dengan kesadaran terdalam akan menjadi proses pendekatan antara manusia dengan Tuhannya. Soal teknologi pacul dan bajak diganti dengan traktor di era teknologi ini menunjukkan adanya hasil dialog yang menunjang kemajuan dan kebudayaan yang kreatif sebagai jawaban atas tantangan zaman yang semakin modern. Dengan demikian, teknologi bisa menjadi sarana untuk bersyukur dan bersujud kepada Tuhan.

Dialog berkesinambungan itu tentunya melibatkan berbagai sektor atau bahkan semua sektor. Tidak kurang pentingnya adalah sektor pendidikan yang jelas arahnya. Karena itu, dibutuhkan daya kreatif dengan membuka wacana-wacana baru yang berorientasi ke masa depan. Orientasi ke masa lalu tanpa melihat ke depan bisa membuat anak-anak kita tampil kadaluarsa sebagai aktor yang terlambat hadir dan tidak visioner.

Di sinilah diperlukan pendidikan untuk membawa anak cucu kita kepada pemberdayaan dan keberdayaan baru. Adanya sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah penjajahan Belanda pada awal abad ke-20 terbukti telah membawa bangsa kita kepada wawasan baru dan modern. Berdirinya Republik Indonesia 17 Agustus 1945, pengelolaan serta penyelenggaraan negara kita selanjutnya tidak lain adalah berkat adanya pendidikan modern itu.

Sekarang tidak ada desa yang tidak punya sekolah. Bahkan untuk satu desa sudah ada lebih lima sekolah dasar atau yang setingkat. Lembaga pendidikan SMP, SMA, sekarang sudah bisa ditemukan hampir di semua ibukota kecamatan.

Namun model pendidikan kita agaknya masih juga kelanjutan dari sisa-sisa pendidikan kolonial yang telah direvisi di sana-sini. Anak didik di pedesaan diajar seperti anak Jakarta. Jarang ada keterampilan yang diajarkan sesuai dengan alam desa dan alam pesisir. Anak-anak petani tidak ditanami penghayatan mendalam terhadap aroma lumpur sawah dan tanah tegalan, serta anak-anak nelayan tidak diajar terampil menebar jala dan mengembangkan layar. Akibatnya, sesudah tamat SMA sebagian mereka menjadi anak yang gagap untuk bekerja di desanya sendiri. Yang anak petani enggan memegang cangkul dan membajak, serta anak nelayan tidak ada gairah terjun ke laut untuk menerjang ombak dan menentang angin. Sebagian dari mereka merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta, atau jadi TKI ke luar negeri yang siap dianiaya atau dihina oleh majikan. Dalam kurikulum memang ada muatan lokal, tetapi sampai sekarang pengajar yang kompeten di bidang itu sulit ditemukan.

Aneh yang lain ialah kenyataan hasil dari pendidikan kita. Pada sekitar zaman kemerdekaan, menurut catatan Eka Budianta, jumlah sarjana masih sangat sedikit, sekitar 45 orang. Tapi kita mampu menegakkan kedaulatan, mengusir penjajah, mampu memenangkan diplomasi sehinggga menjadi bangsa yang terhormat. Zaman itu memang tidak mulus, di sana-sini ada pertentangan sesama kita, antara lain seperti “Peristiwa Madiun,” munculnya DI-TII dan lain-lain. Tetapi relatif bisa diatasi.

Sekarang kita sudah punya jutaan orang sarjana, yang sebenarnya harus bisa mengatasi semua krisis yang melanda negara dan bangsa kita akhir-akhir ini, baik dalam bidang ekonomi, politik, hukum, budaya, dan lain-lain. Tetapi pada kenyataannya, di antara kita hanya pandai bertengkar dan saling-cakar sesama kita sendiri, kerusuhan terjadi di mana-mana. Di samping itu, pembakaran hutan, korupsi, penggundulan bukit yang menimbulkan banjir, semua itu dilakukan oleh orang-orang yang terdidik. Kenapa ada orang terdidik ternyata hanya pandai mendatangkan malapetaka? Lalu apa guna sekolah-sekolah dan perguruan tinggi itu didirikan kalau kita hanya pandai merusak, bertengkar, menghujat, mencacimaki pemimpin, dan berbuat kekerasan? Padahal kalau hanya untuk saling-cakar dan bermusuhan saya kira orang tidak perlu sekolah. Kenapa pada era banyak sarjana keberutalan dan kekerasan makin marak?

Hal itu menjadi pertanda, bahwa pendidikan untuk membentuk manusia-manusia yang santun itu sangat penting. Kesantunan dan budi pekerti itulah yang akan membuat atmosfer kehidupan terasa tenteram dan segar dengan manusia-manusia yang adil dan beradab. Semua tindakan manusia itu berasal dari kalbu. Kalau kalbunya keras, hati nuraninya dangkal dan rasa kasih sayang kepada sesama sudah tidak ada, maka kekerasan tidak akan bisa dikendalikan.

Ingat pembunuhan wartawan Udin, wafatnya Munir, tawuran antar-pelajar dan kekerasan massal lainnya yang sering diberitakan di koran dan televisi, semuanya itu membuktikan nyata bahwa kekerasan itu ada, dan manusia yang haus darah saudaranya sendiri juga benar-benar ada. Itulah “disharmoni sosial” akibat adanya benturan kepentingan yang melonjak menjadi konflik. Ketegangan psikilogis yang menyebabkan disorientasi mental dan hilangnya rasa santun.

Akhir-akhir ini telah terjadi proses pendangkalan spiritual dan moral. Kehidupan beragama, misalnya, memang tampak semarak dan berkibar. Sekarang ada baju “takwa.” Bahkan, naik haji sudah diminati banyak birokrat dan artis. Di kantor-kantor dan sekolah-sekolah ada mushalla. Dari sudut esktrinsik formal, yang demikian itu sangat positif. Hanya saja, kalau hal ini tidak diimbangi dengan penghayatan intrinsik yang ditandai dengan tunjamnya sujud jiwa kepada Sang Pencipta, serta upaya membersihkan hati, semaraknya kegiatan agama itu belum menyentuh esensi agama. Yang justru terjadi adalah pendangkalan ruhani. Dalam kondisi seperti itu, agama dan Tuhan terkadang hanya dijadikan sebagai bendera kebanggaan. Cara beragama yang cenderung ekstrinsik ini akan gagal mendapatkan makna hidup yang hakiki. Karena itu semaraknya kehidupan beragama harus disertai dengan penghayatan spiritual yang mendalam dan kedekatan kalbu dengan Allah.

Informasi yang menyerbu lewat aneka media — termasuk sebagian tayangan televisi yang tidak bermutu — kepada manusia-manusia yang jiwanya tidak tegar dan tidak punya daya tangkal, bisa membuat orang mengabaikan hati nuraninya sendiri (Alexis Carrel). Tidak mustahil bahwa hal itu akan sangat mendongkrak proses pendangkalan ruhani yang pada puncaknya menyebabkan manusia kehilangan substansi kemanusiaannya. Materialisme, hedonisme, dan sadisme akan sangat subur dalam masyarakat yang ruhaninya kering kerontang. Menyadari pendangkalan itu sebagai “bahaya” barangkali sudah saatnya. Secara idealistik, kita punya nilai-nilai luhur, akan tetapi, sebagian orang menguasainya hanya sebatas omongan dan belum bergairah dalam melaksanakannya. Akhirnya, kemanusiaan menjadi indah dalam ucapan, lukisan, dan nyanyian, dan jarang ada dalam kenyataan.

Menyadari bahaya dan ketimpangan hidup seperti itu kita perlu kembali merawat hati nurani dan akal budi untuk menata masa depan yang lebih indah. Dengan akal budi itu kita memuliakan manusia dan kemanusiaan. Manusia yang punya nurani dan akal sehat perlu mencermati terhadap siapa-siapa yang memenuhi kebutuhan dirinya. Ketika kita makan nasi, pikiran jernih akan menelusuri secara seksama, nasi itu berasal dari beras, dan beras itu ada karena ada petani yang menanam padi. Ketika kita makan lauk ikan tongkol, kita akan dituntun oleh akal sehat untuk berterimakasih kepada para nelayan yang bertarung di atas perahunya melawan ganasnya gelombang di tengah laut. Ketika kita memakai baju, pikiran jernih akan menggiringnya untuk mengakui jasa para petani kapas dan tukang tenun atau orang yang bekerja di pabrik tekstil.

Jika pikiran jernih yang kita kembangkan di dalam otak dan kalbu, pastilah akan tumbuh pengakuan dan penghargaan terhadap andil-andil orang-orang yang berjasa terhadap diri kita. Nanti akan berkembang apresiasi yang menjurus kepada ketajaman dan pendalaman spiritual, bahwa sebenarnya petani yang padinya jadi nasi yang kita makan, nelayan yang ikan hasil tangkapannya jadi lauk-pauk di atas hidangan kita, serta petani kapas, tukang tenun, dan buruh pabrik tekstil yang karyanya menjadi pakaian yang melindungi tubuh kita, nurani kita pasti akan mengakui bahwa mereka punya andil terhadap kesejahteraan hidup dan kehidupan kita. Mereka adalah orang-orang yang berjasa. Atau katakanlah pahlawan dalam narasi kecil. Tetapi kalau setiap hari kita mendapatkan jasa dari petani, nelayan, tukang tenun, dan lain-lain, pada hakikatnya mereka adalah pahlawan dalam narasi besar juga, yang jasanya tidak kalah dengan mereka yang jasadnya dikubur di taman pahlawan. Bayangkan, kalau para petani mogok tidak bercocok tanam, semua orang akan lapar, kalau nelayan tidak melaut, hidangan kita akan hambar. Kemudian para pahlawan yang lain silakan terus pikirkan dan cari sendiri.

Dari penghayatan rohani yang menumbuhkan penghargaan dan penghormatan kepada orang-orang yang berjasa kepada kita itu, menjadi semakin jelas, betapa tidak berdayanya diri manusia ini tanpa bantuan manusia-manusia lain. Maka sangat sehat kalau ada pendapat bahwa setiap manusia beriman itu bersaudara. Bahkan Nabi Muhammad bersabda: “Tidak beriman seorang kamu sehingga kamu mencintai saudaramu sebagaimana mencintai dirimu sendiri”

Dari sinilah persaudaraan kemanusiaan perlu semakin dikembangkan, karena sesama manusia bukan hanya berasal dari satu Bapak satu Ibu (Nabi Adam dan Ibu Hawa) tetapi satu sama lain memang saling membutuhkan sehingga perlu saling menghargai serta saling menyantuni.

Akhlak saling mengerti yang bisa dilanjutkan menjadi saling-menghargai dan saling-menghormati terutama dalam pergumulan politik menjadi kunci ketentraman dan keamanan negara kita ini. Berbuat sesuatu yang menyenangkan orang lain adalah tindakan santun yang essensinya adalah kepahlawanan. Tidak mungkin membangun kehidupan yang tenteram dengan saling-mencurigai, saling-fitnah serta kebuasan seperti yang terdapat pada kehidupan binatang.

Yang bernama manusia adalah makhluk yang punya keterbatasan dan kelemahan. Kita harus mampu membaca dan mengerti kelemahan orang lain. Tidak kalah pentingnya ialah mengerti kelemahan kita sendiri. Siapa tahu yang mencekal dan memasung kita bukan orang lain, tapi keterbatasan dan kemalasan yang tidak terasa telah lama berurat dan berakar dalam diri kita.

Dalam pemahaman kemanusiaan, seorang yang berjiwa jernih tidak akan menyakiti orang lain. Jiwa yang jernih dan akal yang sehat tidak akan memberi ruang bagi benih dan virus-virus kejahatan untuk berkembang biak. Tugas kita sehari-hari ialah melawan angan-angan dan keinginan untuk merugikan dan menyakiti orang lain. Ketika kerusakan sedang merebak, tidak ikut latah berbuat onar sudah termasuk manusia yang baik. Kita nyalakan obor nurani, kita cari manusia dalam diri kita, sehingga tidak punya waktu untuk membenci sesama dan berbuat kezaliman. Sudah saatnya kita kembali menjadi bangsa yang santun.

Kita lahir di Indonesia, minum air Indonesia
menjadi darah kita
Kita makan beras, sagu, dan buah-buahan Indonesia
menjadi daging kita
Kita mereguk udara Indonesia
menjadi nafas kita
Kita bersujud di atas bumi Indonesia
Bumi Indonesia adalah sajadah kita
Nanti bila tiba saatnya mati, kita akan dikubur
dalam pelukan bumi Indonesia
Daging kita yang meleleh
akan bersatu dengan bumi Indonesia
Tak ada alasan untuk tidak mencintai tanah air
Tak ada alasan untuk tidak menyantuni bangsa

Batang-batang, Madura, 23 Nopember 2007

D. Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang, ujung timur pulau Madura, mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 1982. Sejak tamat Sekolah Rakyat (SR, setara dengan sekolah dasar) dilanjutkan belajar di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep.

Kumpulan sajaknya Bulan Tertusuk Lalang mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak Bulan Tertusuk Ilallang. Kumpulan sajaknya Nenekmoyangku Airmata terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985. Pada 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenekmoyangku Airmata terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi Anteve dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-50 pada 1995.

Buku puisinya yang lain adalah Berlayar di Pamor Badik (1994), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Madura, Akulah Darahmu (1999), dan Kujilat Manis Empedu (2003). Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.

Catatan:
- makalah ini saya ambil dari Dewan Kesenian Jakarta
- foto saya ambil sendiri di Kediaman KH. Ahmad Mustofa Bisri saat acara manten putri ke empatnya

Attribute to Pramoedya Ananta Toer


 [kliping]

Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun)


Pidato Pramoedya Ananta Toer pada peluncuran ulang Media Kerja Budaya, 14 Juli 1999 di Aula Perpustakaan Nasional.

Betapa perlu dibaca!

__________________________

Para hadirin yang terhormat,

Sebetulnya apa yang saya katakan dalam 10 tahun ini sudah sering saya katakan secara lisan. Sekarang saya sampaikan lagi secara lisan.

Pertamakali tentang negara kita adalah negara maritim terdiri dari belasan ribu pulau tetapi mengapa diduduki oleh Angkatan Darat. Dari bupati kadang-kadang sampai kepala desa. Mengapa ini bisa terjadi. Ini adalah kesalahan historis. Kesalahan lain dengan kekeliruan. Kesalahan berasal dari sudah dari otak, kalau keliru itu adalah salah dalam pelaksanaan teknis. Kenapa terjadi kesalahan ini?

Dalam abad ke 16 Indonesia dikuasai oleh Portugis. Portugis menamakan Indonesia, India Portugis. Portugis dihalau Belanda, menamakan Indonesia, Hindia Belanda. Kenapa kata Hindia dipergunakan? Karena dalam abad ke 16 itu dunia Barat mencari rempah-rempah. Dan rempah-rempah itu mereknya Hindia. Padahal asalnya dari Maluku dan Aceh (Sumatra) itu sebabnya terbawa-bawa terus nama India dan sampai sekarang pun kita belum pernah mengkoreksinya, nanti akan menyambung.

Pada waktu Belanda menguasai Indonesia menjadi kekuasaan maritim di dunia. VOC ini, Serikat Dagang Belanda yang membangun imperium maritim terbesar di dunia dengan ibukotanya Batavia. Dan Batavia ini menyebabkan lahirnya Java-centrisme, semua diukur untuk kepentingan Jawa. Jadi VOC itu mengirimkan pembunuh keluar Jawa untuk menundukkan luar Jawa. Dari Luar Jawa membawa harta di bawa ke Jawa. Ini Perbuatan VOC. Tetapi kemudian VOC bangkrut, kapal-kapalnya pada tenggelam karena korupsi para pejabat, dengan mengangkuti barang-barang berlebihan. Bangkrut VOC, kemudian muncul pemerintah Hindia Belanda, karena sudah tidak mempunyai kekuasaan laut lagi.

Pertahanan Hindia Belanda itu didasarkan pada pada pertahanan Darat. Dan pertahanan Darat dipertahankan sistemnya pada sekarang ini. Padahal sistem pertahanan Indonesia harus pertahananan laut. Salah satu bukti kelemahan pertahanan Darat untuk negara maritim. Pada tahun 1812, waktu Hindia Belanda dikurung oleh Inggris dari laut, dalam beberapa hari angkat tangan. Waktu diserang oleh Jepang pada 1942 dalam beberapa hari juga angkat tangan. Jadi kalau itu diteruskan sampai sekarang, itu bukan lagi kekeliruan, tetapi kesalahan. Persoalannya adalah keberanian untuk mengkoreksi kesalahan. Keberanian tidaknya itu terserah kepada angkatan muda yang belum terpakukan pada sebuah sistem.

Sekarang ini kekeliruan pada waktu Hindia Belanda melaksanakan politik etik, yakni politk balas budi kepada Hindia, timbul organisasi-organisasi pribumi, di Belanda pun muncul organisasi mahasiswa dan terpelajar yang dipelopori oleh Sutan Kasayangan jumlahnya sangat sedikit. Karena yang terbanyak ke Belanda dari Indonesia adalah babu dan jongos. Ada organisasi kecil, sangat kecil. Makin banyak pelajar yang kesana dan kemudian buangan Indische Party, lantas timbul perhimpunan Indonesia. Dengan munculnya Perhimpunan Indonesia itu, pemuda dan buangan ini menemukan tanah air dan nation-nya. Bukan tanah air dan nation yang konkrit tetapi masih fiktif dan ini dinamakan Indonesia. Pada waktu itu nama Indonesia sedang populer. Dipopulerkan oleh Adolf Bastian orang Jerman. Sebetulnya yang menemukan nama ini orang Inggris, tetapi sekarang ini Saya lupa namanya sorry ya!

Disini terdapat kekeliruan, bukan kesalahan. Karena nama Indonesia itu kepulauan Hindia. Bastian menggunakan kata Indonesia itu untuk etnographi. Karena itu pada persiapan kemerdekaan bagaimana wilayah dan penduduk Indonesia. Orang yang waktu ikut perhimpunan Indonesia adalah ras melayu, itu sesuai dengan ajaran Bastian. Jadi Maluku segala tidak masuk Indonesia, tetapi Malaya, Singapura masuk Indonesia. Tetapi ini dibantah oleh grup lain yang mengatakan Indonesia bukan persoalan etnographi, tetapi persoalan kesamaan dalam penjajahan, yaitu wilayah bekas Hindia Belanda, yang terakhir menang. Jadi nama Indonesia masih terbawa.

Dan partai permulaan itu adalah PKI pada tahun 1923, setelah itu partai semua menggunakan nama Indonesia. Sebelumnya PKI namanya Partai Komunis en Hindia. Jadi di sini ada kekeliruan menggunakan nama Indonesia. Zaman Majapahit namanya Nusantara. Zaman Singasari lebih tua lagi Dipantara, Nusantara di antara dua benua. Jadi ada keberanian mengkoreksi atau tidak? Terserah.

Kembali lagi kita ke masa lewat. Mengapa Belanda yang begitu kecil bisa menguasai Indonesia? Luas wilayahnya tidak lebih besar dari Jawa Barat. Karena politik kolonial Belanda adalah politik parternalisme. Karena Belanda itu pedagang, maka golongan menengah itu dibasmi. Golongan menengah pada waktu itu praktis terdiri atas pemilik kapal dan pedagang antar pulau dan internasional. Kapal-kapal mereka dihancurkan oleh kapal meriam Belanda di laut. Mereka terdesak ke pelabuhan-pelabuhan, terdesak terus ke pedalaman sampai kembali menjadi petani. Dan golongan menengah yang kosong ini diisi oleh orang-orang Tionghoa, itu history.

Dalam politik paternalisme kolonial perkawinan antara kolonialisme dan feodalisme. Produk perkawinan itu begitu mendalamnya menghancurkan golongan menengah pribumi. Produk perkawinan antara kolonialisme dan feodalisme, adalah satu kelas khusus dalam masyarakat kelas ini pada zamannya dinamai priyayi. Priyayi ini yang melahirkan kemudian birokrasi kolonial. Karena sudah asal-usulnya demikian maka kita bisa menduga mentalnya demikian. Politik paternalisme ini merasuk dalam-dalam kehidupan, sehingga orang memanggil satu-samalain itu bapak atau saudara, padahal itu panggilan, sapaan yang hipokrit. Tidak ada hubungan apa-apa. Mengapa mesti memanggil bapak, memangnya sudah kawin sama dengan ibunya. Untuk mengguunting putus partenalisme itu, Bung Karno pernah menciptakan kata sapaan Bung.

Dengan kata Bung orang yang dihadapi dianggap mandiri. Jadi sebaliknya kita menilai kembali penemuan Bung Karno, karena dengan sapaan itu orang dianggap mandiri. Pada waktu di Buru saya pernah dipanggil oleh Sersan Karo-Karo, ia berkata “bapak sudah tua, sudah saya anggap orang tua sendiri, lalu bak-buk saya dipukul.” Saya ikut jengkel dengan persoalan paternalistik ini, karena sudah ikut mengalami pahitnya.

Jadi, tadi saya sudah katakan Jawa sentrisme, VOC, kemudian Hindia Belanda juga mengirim pembunuh-pembunuhnya dari Jawa ke luar Jawa untuk mendudukkan luar Jawa, dan dari luar Jawa mengambil kekayaan ke Jawa. Pola ini berlangsung sampai sekarang. Itu sebabnya Bung Karno pernah berencana memindahkan Ibukota ke Palangkaraya. Tapi sebelum bisa melaksanakan muncullah yang namanya Harto. Saya pernah menerima seorang pustakawan Universitas Cornell nama Ben Abel, dia itu orang Dayak dari Palangkaraya. Saya tanya bagaimana hutan Palangkaraya, karena menurut Semaoen, pemikir perpindahan Ibukota ke Palangkaraya. Saya tanya ke Pak Semaoen, “Biayanya apa?” Pak Semaoen menjawab “Gampang saja untuk Indonesia, hutan Palangkaraya.” Tapi Ben Abel yang datang ke rumah. Saya tanya, “Bagaimana hutan Palangkaraya?” Jawabnya “Gundul, sudah habis semua.” Jadi hutannya habis ibukotanya tidak jadi pindah. Demikianlah kisah sedikit tentang Orde Baru.

Sekarang terjadi gerakan separatis. Ada Aceh Merdeka, Papua Merdeka, segala macam Merdeka. Apa sebabnya demikian? Ini masih tetap dalam suatu kesalahan yang memenage Indonesia sebagai negara maritim oleh pendudukan Angkatan Darat. Kalau dimanage sebagai negara maritim, laut akan menghubungkan satu pulau ke pulau lainnya. Tapi dengan pendudukan Angkatan Darat memisahkan dari pulau satu dengan pulau lainnya. Ini salah satu kesalahan besar yang memudahkan terjadi disintegrasi Indonesia.

Dan kemudian ini tugas angkatan muda untuk membenahi semua ini. Ada keberaniaan untuk membenahi jangan belagak pikun ya?

Saya sendiri tidak setuju dengan federasi, tetapi otonomi luas, seperti juga diperingati Bung Karno “sekarang ini adalah abad campur tangan asing dan federasi memudahkan campur tangan asing”. Apalagi tidak dimanage sebagai negara maritim, Saya masih pas dengan negara kesatuan, ya terserah itu pendapat pribadi Saya.

Sekarang tentang demokrasi. Masalah kita adalah masalah demokrasi. Sumbernya adalah revolusi Perancis, seluruh dunia menimba dari revolusi Perancis, seluruh negara Barat negara-negara demokrasi. Tetapi apa yang diperbuat oleh negara-negara demokrasi di luar negerinya, penjajahan dan penghisapan. Jadi Demokrasi Barat tidak sepenuhnya demokratis. Itu baru demokratis kepentingan. Sebab dalam 300 tahun lamanya negara-negara Utara menjadi makmur karena dimakmurkan oleh negara-negara Selatan.

Saya dalam keliling belakangan ini, melihat betapa indahnya hutan di Amerika Serikat dan Kanada, hutan dan kota berpeluk-pelukkan. Tapi apa yang diperbuat Amerika dan Kanad, hutan Indonesia dilumat menjadi kertas, bubur kertas. Banyak pembunuhan terjadi. Pembunuhan massal 1965-66, pembunuhan sampai sekarang ini dikecam juga oleh negara-negara Utara, tetapi siapa yang memasok senjata yang memungkinkan pembunuhan juga dari Utara. Bagaimana kita harus mengatakan? Itu sebabnya pada angkatan muda Saya serukan supaya siap-siap memasuki millenium ketiga dan mengubah kehidupan dan hubungan luar-negeri lebih manusiawi, buka seperti sekarang. Itu tugas angkatan muda sekarang, jangan pura-pura goblok.

Karena demokrasi di Indonesia kalau bisa meraih kedaulatan manusia, kedaulatan pribadi. Karena kita ini masih hidup dalam budaya panutan. Budaya panutan itu biar satu orang yang berfikir yang lain ikut saja. Jadi belum dimulai budaya individual, masih budaya kelompok. Soekarno pernah mengatakan “setiap kemajuan diraih bukan oleh kelompok tetapi oleh individu” itu Soekarno mengatakan.

Dan sebagai contoh budaya panutan ini, kita mengenal Suwardi Soerjaningrat menguba namanya Ki Hadjar Dewantara, bukan maksudnya merendahkan beliau, tetapi memproklamasikan diri pendeta perantara para dewa. Ini adalah budaya panutan. Jadi dia memproklamasikan diri untuk dianut oleh orang lain. Tetapi jeleknya budaya panutan kalau dalam keadaan kritis sang panutan hanya menjawab yang mengikuti yang menanggung. Itu jeleknya.

Jadi ini supaya ditumbuhkan budaya individu, bukan budaya panutan, saya kira cukup jelas toh.

Dan sekarang dalam kehidupan kita ini pertentangan Timur-Barat sudah tidak ada yang ada sekarang adalah Utara-Selatan. Ini saya minta menjadi pikiran, dan dicarikan jalan keluar, supaya hubungan Utara-Selatan lebih manusiawi, bukan seperti sekarang ini

Saya kira cukup sekian dulu.

Terimakasih. Banyak.

_______________________________

dari berbagai sumber

foto dari sini klik

 

Surat Kebudayaan Nahdlatul Ulama



Realitas kebudayaan kita akhir-akhir ini sedang berada pada posisi yang terus mengalami pengasingan—ditinjau dari keberadaanya yang kurang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan baik pada wilayah politik, ekonomi, sosial, maupun intelektual. Kebudayaan juga berada pada kondisi yang terus mengalami pemiskinan—ditinjau dari kemerosotan, pendangkalan, dan penyempitan baik definisi, bobot, maupun cakupannya dalam kehidupan secara umum. Krisis keindonesiaan yang sekarang ini mendera bangsa kita, basisnya adalah krisis kebudayaan ini.


Posisi dan kondisi kebudayaan tersebut tercipta sebagai akibat dari praktik dominasi yang dilakukan oleh tiga kekuatan utama:

1. Kekuatan kapitalisme pasar yang menilai kebudayaan dari sudut pandang pragmatisme pasar dan melakukan komodifikasi terhadap kebudayaan (baik kebudayaan sebagai khazanah pengetahuan, sistem-nilai, praktik dan tindakan, maupun benda-benda hasil ekspresi budaya), sehingga manusia ditempatkan sebagai objek ekonomi dan bukan subjek daripadanya.

2. Kekuatan negara yang menempatkan kebudayaan sebagai lebih sebagai alat pendukung kekuasaan (legitimasi politik), dan menempatkannya sebagai benda mati serta menjadikannya sebagai komoditas pariwisata untuk mengumpulkan devisa, yang artinya negara telah menempatkan dirinya sebagai sub-kapitalisme pasar dalam kaitannya dengan kebudayaan dan bukan menempatkan kebudayaan sesuai definisi dan perannya yaitu sebagai kumpulan pengetahuan, makna, nilai, norma, dan praktik serta berbagai materi yang dihasilkannya (atau singkatnya kebudayaan sebagi formula bagaimana suatu masyarakat melangsungkan kehidupannya).

3. Kekuatan formalisme agama yang menempatkan kebudayaan bukan sebagai energi sosial yang menjadi penopang tumbuh-berkembangnya harkat manusia sebagai khalifah fil ardl, sehingga tidak diperhitungkan secara proporsional dalam pengambilan keputusan hukum oleh para pemegang otoritas keagamaan, dan dalam kadar tertentu mereka justru menempatkan kebudayaan sebagai praktik yang “menyimpang” dari ketentuan hukum yang mereka anut tersebut.

Atas dasar itu, untuk mengembalikan harkat kebudayaan sebagai artikulasi pemuliaan manusia dan prosesnya untuk mencapai integritas kemanusiaannya, sebagai arena penegasan dan pengembangan jati diri kebangsaan Indonesia, kami merasa perlu mengambil sikap kebudayaan sebagai berikut:

1. Menolak praktik eksploitasi terhadap kebudayaan oleh kekuatan ekonomi pasar yang memandang para pelaku budaya beserta produknya berada di bawah kepentingan mereka.

2. Mengembalikan kesenian ke dalam tanggungjawab dan fungsi sosialnya. Dalam hal ini seniman melakukan kerja artistiknya dengan cara melibatkan diri dengan masyarakat, untuk mengungkap, menyampaikan, dan mentransformasikan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat melalui karya seni yang mereka ciptakan dengan melakukan eksplorasi estetika yang seluas dan sekomunikatif mungkin.

3. Menolak kecenderungan karya seni yang memisahkan diri dari masyarakat dengan berbagai alasan yang dikemukakan, entah berupa keyakinan adanya otonomi yang mutlak dalam dunia seni yang artinya seni terpisah dari masyarakat, maupun universalitas dalam suatu karya seni yang artinya karya seni terbebas dari ikatan relativisme historis suatu masyarakat.

4. Memperjuangkan kebudayaan (baik sebagai khazanah pengetahuan, nilai, makna, norma, kepercayaan, dan ideologi suatu masyarakat; maupun–terlebih–sebagai praktik dan tindakan mereka dalam mempertahankan dan mengembangkan harkat kemanusiaannya, lengkap dengan produk material yang mereka hasilkan) sebagai faktor yang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan negara, sehingga kebudayaan dapat menjadi kekuatan yang menentukan dalam setiap kebijakan yang mereka putuskan.

5. Membuka ruang kreativitas seluas mungkin bagi para seniman, baik tradisional, modern, maupun kontemporer, yang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan kesenian yang disebabkan oleh kebijakan politik dan birokrasi negara, dominasi pasar, maupun kekuatan formalisme agama.

6. Merumuskan dan mengembangkan “fiqh kebudayaan” yang mampu menjaga, memelihara, menginspirasi dan memberi orientasi bagi pengembangan kreativitas masyarakat pada wilayah kebudayaan dalam rangka pemenuhan kodratnya sebagai khalifah fil ardl dan sekaligus warga masyarakat-bangsanya.

7. Keindonesiaan adalah tanah air kebudayaan kami. Oleh karena itu, di dalam dinamika kesejarahannya, ia menjadi titik pijak kreatifitas kami, Realitasnya yang membentang di hadapan kami, menjadi perhatian dan cermin bagi ekspresi dan karya-karya. Kami ingin tanah air kebudayaan kami menjadi subur oleh tetes-tetes hujan keringat estetik bangsa ini.

Diputuskan pada Muktamar Kebudayaan NU I
di Pesantren Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta,
Senin,1 Februari 2010, pukul 22.39 wib

Diambil dari Notes Facebook Faisal Kamandobat, klik di sini

Selamat Jalan 'Si Burung Merak'

W.S. Rendra
(7 November 1935 - 7 Agustus 2009)

Siapa nyana W.S. Rendra pernah berangan-angan menjadi seorang tentara. Meski sudah rajin menerbitkan kumpulan sajak dan pusisinya sejak masih di bangku SMA, Rendra remaja malah berangan-angan menjadi taruna di Akademi Militer. Namun seolah-olah dituntun takdir sebagai penyair besar cita-citanya kandas, lantaran kemampuannya eksaktanya yang lemah. Ia malah melanjutkan studinya ke Jurusan Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dari sana jiwa seninya semakin terasah bahkan ia sempat memperdalam pengetahuan drama di American Academy of Dramatic Arts, New York (1964 – 1967).

W.S. Rendra yang bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, lahir di Kampung Jayengan, Kota Surakarta pada Kamis Kliwon, 7 November 1935. Ayahnya, Brotoatmojo seorang guru sekolah yang sangat berbakti pada misi agama Katholik. Oleh ayahnya, sejak kecil Rendra dididik untuk menghargai kehidupan yang mandiri sebagai swasta yang bebas dari lembaga pemerintah. Sementara ibunya, Ismadillah mengajarkan dengan tekun peradaban Jawa yang mistik dan religious kepada Rendra. Sang ibu mengajarkan cara mensyukuri panca indera dan melatih kepekaannya melewati kelana, olah tapa dan Samadhi menghayati nafas, kelenjar-kelenjar badan, tata syaraf, daya intuisi dan kehadiran jiwa.

Gabungan dari dua macam aliran pendidikan yang ia dapat pada masa kanak-kanak dan remaja itulah yang banyak berpengaruh kepada wawasannya mengenai dinamika budaya bangsa, emansipasi individu, kedaulatan rakyat, Hak Asasi Manusia, pembelaan kepada daya hidup dan daya kreatif manusia sebagai individu dan sebagai masyarakat, termasuk kepekaannya terhadap masalah-masalah pendidikan dan keadilan social. Hal itu pula yang menyebabkan ia menjadi kontroversial diantara politisi dan budayawan-budayan yang tidak kreatif.
Rendra atau yang biasa disebut Willy, melangkahkan kaki di dunia kesenian sejak menjadi siswa SMA; menulis cerpen, puisi, esei, naskah drama, berdeklamasi dan main drama. Penyair dan Dramawan ini mendirikan grup teater Lingkaran Drama (1962 – 1964), Bengkel Teater 1967 – 1978) keduanya di Yogya, lalu Bengkel teater lagi di Depok, Jawa Barat (1985 – sekarang). Grup teater yang terakhir adalah kristaliasi atau titik tolak pencarian Rendra setelah kembali dari studi di School of Drama, New York University (1978 – 1985) dan setelah keluar dari Penjara selama 10 bulan akibat melibatkan diri dalam aksi-aksi protes. Sebagai manusia dan seniman, Rendra berusaha bersikap sesuai dengan kepercayaanakan nilai-nilai kebebasan dan hati nuraninya. Ia diamati kalangan luas, termasuk birokrat, politisi, militer dan cendekiawan. Penampilannya biasanya tak hanya mempesona tapi juga seperti selalu siap dengan hal yang mengandung kejutan, baik dalam arti kreatif maupun dalam arti social. Ia dijuluki Si ‘Burung Merak’ yang senantiasa menarik kehadirannya, tapi juga yang sekaligus mengundang berbagai kontroversi.

Sebagai penyair W.S. Rendra telah banyak melakukan pembacaan sajak di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Jember, Malang, Pontianak, Medan, Tegal, Ujung Pandang, Rotterdam Amsterdam, Leiden, Aachen, Berlin, Canberra, Melbourne, Adelaide, Perth,. New Delhi, Bhopal, Trivandrum, Kuala Lumpur, Kota Kinabalu, Kuala Trengganu, Kota Bharu, New York, Tokyo, Leuven, dan Praha.

Buku-buku puisi karyanya antara lain; Ballada orang-orang Tercinta (1954), , Empat Kumpulan Sajak (1960), Blues untuk Bonnie (1970), Potret Pembangunan dalam Puisi (1980). Sedangkan karya naskah dan pementasan diantaranya; Orang-orang di tikungan Jalan (1954), Tanda Silang Eugene o Neal, Martodon dan Burung Kondor (1969), Macbeth (1970), Hamlet (1971), Pangeran Homburg (1972), Menunggu Godot (1973), Qasidah Berzanji (1974), Lysistrata (1975), Kisah Perjuangan Suku Naga (1975), Egmont (1975), Perampok (1976), Sekda (1977), Panembahan Reso (1986), Oedipus (1987), Selamatan Anak Cucu Suleiman (1988) dan Buku Harian Seorang Penipu (1989).

W.S. Rendra juga menerjemahkan trilogi tragedy karya Sophocles : ‘Oedipus Rex’, ‘Antigone’, dan ‘Oedipus di Colonus’ dan dua tragedy karya Shakespeare: ‘Hamlet’ dan ‘Macbeth’. Sementara di dalam seni drama Rendra sangat terpengaruh oleh bentuk teater rakyat dan teater tradisional Jawa dan Bali. Namun begitu ia tidak menjiplak bentuk-bentuk tradisional itu, melainkan metabolism dari daya kreatifnya ia melakukan perombakan atau pengembangan yang dituntut oleh kesadaran pikirannya yang modern. Metode latihan seni teater yang ia ciptakan sebagai penerusan dari tradisi Kejawen dan Yoga Cina telah dianut dan dijalankan oleh hampir semua grup teater kontemporer di Indonesia. Bahkan mendapat sambutan yang hangat dari kalangan seniman teater di Australia, Jepang, Malaysia, waktu ia mengadakan workshop di negara-negara tersebut.

Berbagai penghargaan yang telah ia terima antara lain; Hadiah dari Badan Musyawarah Kebudayaan nasional untuk kumpulan sajaknya ‘ Ballada Orang-orang Tercinta’ (1975), Anugerah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1969), Hadian dari Akademi Jakarta untuk karya-karyanya selama kurun waktu 1970 – 1975 (1975), Penghargaan Adam Malik dalam bidang kesenian (1989), Wertheim Award untuk perjuangan hak-hak asasi Manusia dalam bidang kesenian (1991), Hadiah Hendar Fahmi Ananda dari senat mahasiswa universitas Mataram Lombok untuk perjuangan Hak-hak Asasi Manusia dan Demokrasi, The S.E.A Write Award untuk kumpulan sajak ‘Orang-orang Rangkasbitung’ (1997) serta Penyair terbaik dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1996).

Sementara itu sandiwaranya bertajuk ‘Mastodon dan Burung Kondor’ dan ‘Kisah Perjuangan Suku Naga’ sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Kumpulan sajaknya ‘ Blues untuk Bonnie’ dan ‘Potret Pembangunan Dalam Puisi’ sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan belanda. Buu antologi ‘Sajak-sajak Pilihan’ juga sudah ditejemahkan dan diterbitkan di belanda, Jerman, Jepang, Rusia, Sanksrit, Hindi, Urdu dan Malaysia. Sementara secara eceran ada juga sajak-sajaknya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis, Bulgaria, Czech, dan Korea.

Selain melahirkan tradisi sastra dan teater yang berpengaruh, Dewan Kesenian Jakarta, DKJ menganggap W.S. Rendra sebagai salah seorang sastrawan Indonesia yang meninggikan martabat bangsa. Untuk itu secara khusus, DKJ pernah menggelar acara bertajuk ’70 Tahun Rendra : Menimbang Gerakan Kebudayaan Rendra’ pada perayaan ulang tahunnya yang ke-70 pada 2005 silam.

Selamat jalan sahabat!

diambil dari sini: Selamat Jalan 'Si Burung Merak'