Showing posts with label kange. Show all posts
Showing posts with label kange. Show all posts

Memang (-) harus (di)padam(kan) supaya lebih terang (+)


Oleh : Bejo Halumajaro

"Pertanyaan saya. Tadi penjelasaanya panjang sekali. Pertanyaan saya, Bapak Ibu semua ini kan orang pintar-pintar, apalagi urusan listrik dan sudah bertahun-tahun... apakah tidak dihitung, apakah tidak dikalkulasi bahwa akan ada kejadian-kejadian sehingga kita tahu sebelumnya. kalau tahu-tahu drop seperti ini. Artinya pekerjaan-pekerjaan ini tidak dihitung dan dikalkulasi. Dan itu betul-betul merugikan kita semuanya," Kata Pak Jokowi di tivi breaking news.

Orang-orang di Warung Kange, khusuk menyimak berita. Semua memberitakan tentang pemadaman listrik, baik televisi maupun medsos gaduh tentang itu. Termasuk obrolan orang-orang desa yang kurang kerjaan dan sukur saja menanggapi peristiwa “bencana gelap” ini.  Hampir 19 jam, di lokasi terpisah di Jabotabek dan Jawa Barat, terjadi pemadaman yang mana meng-on-kan-nya  berurutan. Tidak sekalian, nyala semuanya.

"Coba kalau yang padam luar Jawa. Apa akan seheboh ini?" tiba-tiba nyinyir Makde Kariba, melempar pertanyaan.

"Nggak usah, nyinyir. Itu Jokowi, memang sudah tugasnya; menegur bawahan. Kalau menurutku bukan pencitraan. Lho, ya?" jawab kang jono, yang memang sering kali membantah ucapan nyinyir Makde Kariba.

"Ini ada beribu juta komentar-komentar di medsos, ada yang menghujat PLN, ada yang kasihan PLN dan menyemangati, tujuannya apa kang?" Mas Parno ikut nimbrung omongan, sembari membaca linimasa dan tagar-tagar witter.
"Belum-belum tanya tujuan dan sukanya kok mencari tujuan. Nanti kalau sudah dijawab, lalu dibantah dan kembalinya ke siapa yang salah." Jawab Kang Jono.

"Ya bukan seperti itu. Yang terpenting itu penyebab atau solusinya bagaimana?" Lek Ahmad seakan membenarkan ucapan Mas Parno.

"Ya, kan. Kalau penyebabnya ‘kan sudah jelas dan kalau solusi-nya yang dijelaskan ibu Sripeni tadi." kata kang jono.

"Itu seperti dawuh Pak Jokowi tadi, sesegera mungkin melakukan perbaikan-perbaikan," tambah kang Jono.

"Itu jangka pendek Kang. lha, yang jangka panjang apa?" Jawab Makde Kariba yang membuat 4 orang di warung Kange mengerutkan dahi, seakan membenarkan; benar juga kata mereka dalam hati masing-masing. Mereka seakan menduga-duga dalam hati, "Manusia memang selalu merasa kurang ya" dan "Berarti harus tambah dan tambah lagi kah?"

Suasana hening sejenak. Sembari ada yang makan gorengan dan ada yang nyruput SoboCoffee 100% robusta, racikan lek Ahmad.

“Jika masing-masing memang sudah berkesimpulan seperti itu, apa boleh dikata. Taek lah,” goda lek Ahmad coba memecah keheningan. Sambil menghela nafas, Lek Ahmad berkata; "Masalah energi emang pelik, sepelik masalah istri,"  

“ha ha ha,” tawa mereka pecah.

“lho emang iya. Istri adalah sumber energi positif opo negatif yo?, dengan ada istri jadi jelas arah hidupnya, coba kalau belum beristri,” kata Makde Kariba, sembari melirik ke arah Mas Parno yang sudah cukup umur namun belum berkeluarga.

“Seperti juga ada listrik, jadi bisa medsos-an, nonton tivi, dan-lain-lain” timpal kang Jono.

“ini bukan jangka pendek atau panjang. Opini digiring bersifat mendesak. Sebab sehari padam saja, netizen sudah nyinyir rakaruan.” Kata Mas Parno.

 “Kemarin tanggal 3 Agustus, aku baca berita seperti ini, Lek.” Kata Mas Parno lagi dan sesaat kemudian dia menjelaskan tentang berita itu, seperti ini:
Kebijakan-kebijakan PLN untuk mendukung target penurunan emisi tersebut antara lain pertama, dukungan melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT) seperti PLTA/PLTM, PLT Biomassadan PLTU Gas Buang Industri, B30, B100 dan PLB serta PLTS Atap.
Kedua, penggunaan teknologi rendah karbon seperti pembangkit USD, Fuelswitching (pengalihan BBM ke Gas pada PLTG/GU/MG dan penggunaancampuran biofuel pada PLTD), serta upaya efisiensi pembangkit (CCGT,COgen, Classs H Gas Turbine). Ketiga, mempromosikan penggunaan energy storage seperti batteray, pumpstorage dan powerbank.
Keempat, mengubah kebiasaan penggunaan energi dari pembakaran individual ke jaringan listrik. Misalnya penggunaan mobil listrik, kompor listrik, kereta listrik, Moda transportasi listrik (MRT) dan LRT. Kelima, mempromosikan penggunaan peralatan listrik yang efisien.
Dan keenam, penghijauan dengan target 1.000 pohon untuk setiap unit induk PLN. Sampai akhir 2018 lalu, tercatat ada 34.974 pohon yang sudah ditanam PLN.
Khusus untuk PLTU batubara, jelas Warhan, PLN juga menerapkan teknologi rendah karbon dengan tingkat efisiensi tinggi atau High Efficiency and LowEmmission (HELE), seperti Clean Coal Technology (Super Critical dan UltraSuper Critical).
Semua menyimak penjelasan Mas Parno, mengenai kepedulian PLN dalam menangani penurunan emisi dan lain-lainnya.

“Ini pak Jokowi juga heran kenapa PLN tak bisa kerja cepat,” timpal makde kariba membacakan judul berita lain di media online.

“Wah, jadi semakin terang. Masalahnya adalah memang haruskah padamkan sementara yang agak-agak lama. Supaya lebih terang kah?” kata makde Kariba.

“kita ini rakyak kecil, tidak usah membahas negara. Biarlah mereka-meraka yang mendapat mandat, yang memikirkan-nya. Entah, mau negeri atau swasta yang terpenting listrik menyala dan biarkan yang kaya semakin kaya asalkan listrik nyala. Massa bodoh, apa masa bodoh lah!?” jawab lek Ahmad, sambil lalu ke belakang warung. Sepertinya Lek Ahmad nyuci gelas-gelas pelanggan warung yang silih berganti berdatangan ke Warung Kange, miliknya.
Pada pembahasan selanjutnya di warung Kange beralih ke hal-hal keseharian dan rutinitas orang-orang desa. Tidak ada yang meneruskan obrolan mengenai listrik. Seakan semua menyetujui dan opini telah terbentuk di masing-masing kepala orang-orang.

Bahwa daya listrik harus ditambah dan bagaimana caranya yang terdekat dan sudah final adalah pembuatan lagi Pembangkit Tenaga Listrik; entah Air, Uap, atau pun energi lain.

“sruuiyypp,” lamat-lamat terdengar orang menyeruput kopi.


04082019

Orang Itu





"Orang pegunungan biasanya suka pergi ke pantai dan orang pesisir biasanya gemar naik gunung," begitu jawab orang itu menerangkan tentang prinsip hidupnya dalam mencari jodoh. Jawaban yang simpel tapi bikin kepala mendidih. "Ah, aku menanak omongan yang tidak sambung," batinku.

Orang-orang yang diajaknya ngobrol di kedai ini pun tampak kelihatan bingung. Hanya mendengarkan dan meng-iya-kan apa yang orang itu omongkan. Sedari tadi aku sudah merasakan kejanggalan tentang itu. Terlihat dari mimik wajah mereka berlima yang duduk di kedai ini, termasuk aku.

"Kang Sholeh, apa tidak baiknya kamu segera ke ladang. Itu lho, ikut membantu temanmu, yang kayaknya sudah kepanasan sejak tadi," Kata lek Jo menyela kepadaku. Sepertinya lek Jo tahu kalau aku sedang mencari cara untuk menghentikan ngobrolanku dengan orang itu.
"Sebentar, Lek," jawabku singkat.

"Jadi gini, Kang. Kalau kamu mencari pekerjaan tentunya sesuaikan dengan apa yang menjadi bidang kamu. Kamu kan santri seharusnya kamu menjadi Kiai atau minimal ustadz kayak di TV itu," lanjut orang itu sambil menatapku.

Lek Jo yang sedari tadi mendengarkan obrolan-obrolan kami kemudian menyahut, "Wah, ya tidak bisa begitu, Mas. Seorang santri harus bisa apa saja. Tidak melulu harus jadi Kiai. Santri harus mampu menjadi apa saja. Kalau menurut aku, santri harus mewarnai kehidupan di segala bidang." Sepertinya Lek Jo sedikit bosan dengan obrolan orang itu yang di mulai dari kiat-kiat mencari jodoh, penerapan gaya hidup sampai bagaimana santri mencari pekerjaan. Nada bicara lek Jo yang agak memberat dan sedikit terdengar mengetar menandakan lain dari bagaimana biasanya lek Jo berbicara. ada apa ini?

"Lho kalau aku lihat, terjadi sedikit kekeliruan dengan adanya kang-kang santri yang sepertinya kurang terima dengan apa yang telah dipelajarinya. Saya bilang keliru lho, Lek. Bukan satu kesalahan." lanjut orang itu menegaskan.

"Mereka bukan keliru, juga bukan salah. Mungkin mereka mencari jatidiri dan masing-masing mereka menempuhnya di jalan masing-masing," balas lek Jo.

Orang itu sedikit membelokkan tubuhnya dengan me-matrap-kan duduknya untuk menghadap padang ke lek Jo dan orang itu berkata, "Maksud saya juga itu, Lek. Ya, kan seharusnya seorang santri itu menjadi Kiai."

"Eh, Mas. Anda tahu toh kalau Kiai itu bukan gelar yang seperti sarjana, doktor, atau profersor dan lain-lainnya. Kata "kiai" disematkan pada nama seseorang, itu berarti orang tersebut telah mengabdi di masyarakat dalam bidang keagamaan. Jadi tidak bisa seenaknya seseorang itu menyandangkan sendiri gelar itu kepada dirinya," tegas Kang Ahmad dan ia melanjutkan, "Seorang anak kiaipun kalau tidak bisa membawa masyarkatnya menuju kebaikan patut dipertaruhkan, apa dia pantas menyandang gelar itu?"

"Wah, saya nggak mau tahu kalau masalah itu, Kang" Jawab orang itu sambil menoleh ke kang Ahmad. "Yang sama pahami selama ini, santri-santri pada lari dari kenyataannya sebagai pelayan umat. Maksud saya, buat apa mondok lama-lama kalau tidak mau memberikan sedikit ilmunya kepada masyarakat sekitar. Saya katakan santri harus menjadi Kiai supaya Kang-kang santri seperti kalian bersemangat untuk berbagi kepada orang-orang seperti saya yang kurang mengajinya. Karena aku lihat, hanya para kiai yang tulus memberikan itu. Tapi yang menjadi pertanyaan saya, Kiai yang bagaimana itu?" Lanjut orang itu.

"Mas, yang sampean ucapkan sepertinya sama dengan omongan kang Ahmad. Cuma, mungkin beda bahasa," sela lek Jo.

"Mungkin begitu, Lek. Saya hanya menggambarkan keadaan yang nyata sekarang ini di luar pesantren. Bolehlah santri berkembang di bidang usaha masing-masing tapi tetap harus mengabdi di bidang keilmuan agama, Eman-eman sing mondok." kata orang itu.

"Namun kalau menurutku, tetap; santri tidak harus jadi Kiai. Karena yang menyandangkan gelar itu bukan diri sendiri tapi orang lain," sambung kang Ahmad

"Aku setuju saja, yang terpenting jangan sampai kiai seperti DPR yang telah berubah bentuk menjadi sebuah profesi alias pekerjaan dan kita lihat 'kan? DPR sekarang ini bukan lagi berupa pengabdian kepada masyarakat," jawab orang itu.

"Ya, sebab kiai bukan pekerjaan tapi pengabdian, " sahut lek Jo.

Orang-orang yang lain di Kedai ini mengangguk, seakan meng-iya-kan apa yang diucapkan lek Jo. Termasuk aku juga. Tapi aku berfikir keras siapa orang itu yang sejak tadi mengobrol denganku. Dan aku hanyut dalam pembicaraan yang mengalir. "Obrolan yang terakhir, apa hubungannya dengan Orang Gunung dan Orang Pantai?," Pikirku. Dan saat aku hendak bertanya:

"Leh, jadi kerja tidak?" teriak kang Utsman di luar kedai mengagetkanku.

"Dari tadi tongkrong di warung, terus kapan kerjanya?"

Ke Diri, Oktober
gambar klik disini

jaah





"Tapi bagaimanapun, nantinya kamu juga akan mengerti dan memahami, bahwa hidup itu butuh eksistensi. Namun jangan sekali-kali kamu artikan dan kamu tafsiri bahwa eksistensi itu adalah suatu keber-ada-an dalam fasilitas ke-benda-an. Dan lagi, jangan eksistensi itu dimaknai sebagai suatu kehormatan saja. Wah,... Kalau sesuatu diukur dengan hanya karena kedua hal itu, bisa-bisa tidak ada ketulusan lagi...," Begitu kata Mas Gatot, guru muda, usia 30-an, seorang mantan aktifis pergerakan mahasiswa, yang sekarang lebih banyak mengaji dan belajar kitab kuning.

***
Secara tidak langsung obrolan orang-orang yang berada di Kedai Lek Jo sore itu, menyoroti tentang sikap seorang pemimpin. Dan jika boleh dikata, bahwa sesungguhnya setiap orang itu adalah pemimpin bagi diri sendiri, juga bagi lingkungan sekitar guna membina hubangan yang baik dan demi kelangsungan kehidupan manusia dalam kebermasyarakatannya.

Bagi aku, sah-sah saja mereka obrolkan itu dan sore itu aku menyimak obrolan sembari menonton berita-berita di televisi tentang korupsi yang begitu mudahnya dipraktekkan.

"Antara pemimpin dan pemimpi itu nggak ada bedanya. sama-sama berharap dan merencanakan perubahan dari apa yang mereka mau. Tapi nantinya seorang pemimpin akan menjadi beda dari seorang pemimpi bila melaksanakan apa apa dari yang direncanakannya?" ucap Gus Irul, sewaktu mengomentari berita tentang kacaunya pemerintahan.

"Nggak ada beda, Gus? Seperti halnya pembohongan publik atau itu disebut kegagalan memimpin atas kuasa kepemimpinannya, tentunya itu tergantung siapa yang memandang dan dari sisi mana kita berdiri?" Timpal Lek Jo.

"O, tidak bisa, Gus. Kalau pemimpin yang baik itu pasti menepati janji-janjinya. Sedangkan pemimpi itu selalu diselimuti khayalannya untuk bisa bertahan dalam kekusaannya, tentunya ini khayalan saja, hehehe.... Alih-alih mau turun dari jabatan, lha berjuang untuk mendapatkan jabatan saja, begitu sulit?" tanya Kang Maghfur.

"Maksudnya, banyak biayanya?" tanya balik Gus Irul.

"Kalau yang itu sudah bukan rahasia. Kamu toh juga senang tho, Kang. Dapat kaos, jaket, uang pesangon konvoi kampanye. Tapi yang jadi pertanyaan uang siapa itu?" Jawab Lek Jo yang bicaranya diarahkan ke Kang Maghfur.

"Lho, bener itu, Lek? Pemimpin memang seharusnya memberi dan memberi, bukan malah meminta. Tapi sebaiknya setelah menjabat harus lebih banyak memberi," sambung kang Maghfur.

"Hidup orang sekarang memang begitu, selalu mengejar eksistensi dalam hidup. Eksistensi bisa berarti kemapanan hidup berupa harta, jabatan kehormatan tapi bisa juga dimaknai karya. Seperti kredo; 'Eksistensi ada karena sebuah karya,' dan karya tersebut bermacam rupanya, bisa berwujud prestasi, bisa tindakan dan yang pasti adanya adalah berbentuk pencapaian, suatu pencapain entah itu prestasi atau tidak," kata Mas Gatot yang seakan menengahi masalah.

"Dan kegagalan dalam pencapaian, apakah bisa disebut kebohongan? Dan ini tinggal bagaimana seorang mengartikannya?" Gus Irul.

"Maaf, ini jangan ada pro kontra, lho," sela kang Maghfur.

"Tapi bagaimanapun, nantinya kamu juga akan mengerti dan memahami, bahwa hidup itu butuh eksistensi. Namun jangan sekali-kali kamu artikan dan kamu tafsiri bahwa eksistensi itu adalah suatu keber-ada-an dalam fasilitas ke-benda-an. Dan lagi, jangan eksistensi itu dimaknai sebagai suatu kehormatan saja. Wah,... Kalau sesuatu diukur dengan hanya karena kedua hal itu, bisa-bisa tidak ada ketulusan lagi...," jawab mas Gatot.

"Lha, disini letak bedanya antara orang yang memang memburu jabatan dan atau menginginkannya dengan seorang yang harus memberi contoh dan menjadi tauladan. Termasuk harus legowo lengser kalau memang dia kurang cakap,"  lanjut Gus Irul.

"Maksudnya apa, Gus?" Tanya kang Maghfur.

"Apa tho yang dicari seorang pemimpin? Jabatan, kehormatan, harga diri, atau kemaslahatan umat. Mungkin dalam kamus pemikiran saya masalah jabatan atau sebut saja jaah, itu suatu trah yang sudah digariskan. Orang nggak akan jadi pemimpin bila tidak dipilih. Maksud saya ini bukan dipilih oleh rakyat, meski mekanisme logika pemilihannya seakan-akan dipilih oleh rakyat. Tetapi seorang pemimpin itu orang terpilih, dipilih oleh Tuhan dan memang dia digariskan menjadi pemimpin." Jawab Gus Irul.

"Mbulet, Gus. Rumit penjelasannya hehehe...," ledek Lek Jo.

"Gini, Meski jaah itu di mata kita adalah suatu pangkat atau kedudukan, dan jabatan tetapi apa yang ada dibalik itu, Jaah adalah amanah yang diembankan dari Tuhan kepadanya. Maka dari itu istilah, 'seorang itu adalah pemimpin bagi diri sendiri'. Itu benar adanya. Kita masing masing memiliki tanggung jawab untuk diri sendiri. Begitu pula seorang pemimpin, bertanggungjawab penuh atas apa yang dipimpinnya," kata Gus Irul ketus.

"Maka kalau orang-orang sekarang berlomba untuk menjadi pemimpin itu yang dipertanyakan lagi, untuk apa ya?" tanya pura-pura kang Maghfur.

"Ya itu, diberi tanggungjawab lebih," sahut Lek Jo.

"Wah,.. kalau permikirannya seperti itu ya repot, Gus. Nggak ada lagi orang yang mau jadi pemimpin. Mereka saling mengajukan yang lainnya,"  sanggah Mas Gatot.

"Lho itu lebih bagus, daripada berebut kepemimpinan sehingga muncul money politik, tim sukses menebar pesona, praktek suap menyuap, dan yang paling parah setelah itu, kalau dia terpilih dan memimpin demi hanya mengembalikan modal dari dia berkampanye" Jawab Gus Irul.

"Korupsi..."

"Sudah, sudah... itu lihatlah televisi. Ada satu lagi penemuan tindak korupsi yang dilakukan pejabat," kata Lek Jo memotong dan mengalihkan perhatian obrolan supaya mereka yang berada di Kedai itu melihat televisi.

"ckckck... susahnya mencari orang yang tulus untuk mengabdi?" Celetuk Kang Maghfur.

"Sudahlah, Kang. Bisanya cuma ngomong tok, tuh lihat saja televisi dan bobroknya negeri ini!" kata Lek Jo sembari membesarkan volume pengeras suara televisi.

Dan orang-orang di Kedai itu menoleh ke Televisi. Suasana jadi hening. Semua mata terpusat pada televisi yang menyiarkan betapa carut-marutnya bangsa ini. bangsa yang mengalami krisis multidimensi


Diterbitkan Majalah Misykat edisi 66


gambar dari

Formalitas Hidup

 [ kange ]



Diusianya yang hampir berkepala empat, Kang Ahmad masih tampak selalu bersemangat. Dalam menjalani keseharian ia masih sendiri, belum beristri dan masih bercita-cita mengikuti nikah massal yang saban tahun diselenggarakan pondok pesantren. Ada ketabahan yang mengakar dalam dirinya atau ia hanya dalam sebuah keterpaksaan hidup yang harus terus dijalaninya. Dari kuli di pasar sampai kini telah berkali-kali alih profesi dan yang paling akhir ini, di samping narik becak, ia kalau pagi menghantar koran dan kadang-kadang juga menerima jasa winter jeans.

Tatapan matanya tajam hingga acapkali aku dibuat kikuk kala sedang mengobrol dengannya dan tak sengaja beradu pandang. Kang Ahmad seakan menikmati hidupnya yang barang tentu sudah tidak lagi merasakan nikmat hidup dalam pandangan masyarakat umum. Dalam suatu obrolan ia pernah berdalih,
"Sebagai seorang yang masih mempercayai Tuhan, pantang kau merasa Tuhan tidak adil!"
"Tapi hidupmu kok ga berubah-ubah, Kang?
"Berubah apanya? Yang jelas kalau masalah fisik kita akan semakin lemah, semakin tua. Orang kalau memandang besok tuanya akan tampak jelek, dia tidak akan bergaya dalam menjalani aktifitas masa mudanya dan tentunya hanya akan mengunakan waktu mudanya dengan hal-hal yang baik. Bukan seperti aku sudah sebegini belum laku-laku... hehehe." Meski tampak bercanda kata-kata Kang Ahmad mengalir dalam alur garis-garis di wajahnya dan di keheningan keningnya yang berkerut-kerut seakan memikirkan apa yang ia omongkan atau jangan-jangan Kang Ahmad menyesali masalalunya.

Seringkali aku dengar cerita-cerita dari orang yang cangkruk di warung Lek Jo, betapa kisah hidup yang dialami Kang Ahmad begitu panjang. Mungkin sepanjang sungai yang membelah kota kami atau bahkan lebih panjang lagi. Ada varian cerita tentangnya, ada yang mengatakan, memang salahnya kang Ahmad yang ikut-ikutan menjalankan bisnis nggak jelas yang hanya berorientasi pada perbanyak keanggotaan dan masih ada bermacam versi cerita lagi. Tapi ada satu versi yang menurutku masuk akal, yakni bahwa kang Ahmad hanyalah korban dari penipuan.

Kang Ahmad sempat hidup layak, katakanlah begitu sebab ia menggunakan fasilitas hidup memadai, macam mobil dan atau yang lainnya. Mungkin itu dulu untuk mendukung gaya hidup perlete. Ia selalu terlihat berpakaian rapi, dan dipadu dengan intonasi gaya bicara memikat. Orang-orang yang mengikuti bisnis macam itu biasanya memang lebih menonjolkan penampilan.

Tetapi semua itu lenyap begitu saja bersama ditangkap dan dibongkaranya model usaha yang dikerjakan oleh Kang Ahmad dan teman-temannya. Waktu itu Kang Ahmad sudah lumayan enak. Ia ada dalam tingkatan tepat di bawah bos-bos. Kang Ahmad sudah memiliki banyak bawahan, dan oleh sebab itu ketika bangkrut maka Kang Ahmad dituntut untuk mengembalikan segala yang telah ia peroleh atau dengan kata lain Kang Ahmad menganti-rugi semua yang dituntut anak buahnya. Sampai pada akhirnya kekayaan yang telah dihimpun Kang Ahmad tak cukup lagi dan ia sempatkan pula untuk bekerja ke luar pulau demi melunasi kekurangan-kekurangannya.

Namun begitu, banyak orang yang salut dengan Kang Ahmad, yang mau bertanggung jawab, bukan seperti bos-bos atasan Kang Ahmad yang melarikan diri serta membawa uang bawahannya, entah ke mana.

Aku lekat memandang bulat oval wajah Kang Ahmad. Hanya ada sedikit rambut yang tumbuh di sisi-sisi kepala, di atas telinga dan bagian belakang kepala saja. Dalam keseharian Kang Ahmad kini lebih sering memakai kopiah dan mungkin karena alasan itu. Aku hanya menduga.

"Lho kok diam, diajak dialog malah ngelamun?" Tanya Kang Ahmad.
"Hmm... Kang. Kapan, ya? Kiranya kita terbebas dari rasa bosan menunggu hidup?" Aku sengaja bertanya yang tidak nyambung dari apa yang diomongkan Kang Ahmad awal tadi.
"Mungkin maksud pertanyaanmu begini, harus dikemanakan orang-orang miskin macam kita?"
"Lha, tapi sampeyan kan pernah kaya?" tanyaku lagi.
"Sebenarnya kaya ataupun tidak itu hanya pandangan orang lain dan biasanya dia hanya melihat lahiriahnya saja. Dan yang terpenting adalah dalamnya, kalau kita masih merasa kurang itu bukan kaya namanya."
"Begini, Kang. Kalau disuruh memilih kehidupan yang dahulu dan yang sekarang sampean pilih mana?" Desak kataku.

Kang Ahmad hanya diam, wajahnya seakan kecut dengan kenangan yang memanggangnya. Dia menantapku, aku pun diam. Ada suasana nggak mengenakkan di antara obrolan kami.
Sejenak sebelum berkata Kang Ahmad menghela nafas dalam-dalam dan menghempaskannya pelan-pelan seakan dengan begitu keluar juga segala beban yang dipikul dalam pikirannya.

"Hmm, sebenarnya kita itu dipilih bukan memilih, meski seakan yang ada di hadapan kita mengharuskan kita untuk memilih. Namun itu semua telah ada yang mengatur dan sudah ada jatah pasti."

"Kalau jawabanya kayak gitu mengapa kita harus kerja?" Eyelku.

"Sekarang gini kerja itu untuk apa? Digunakan buat apa? Toh, kalau pun kita tidak kerja apa kita akan mati? Yo, memang benar semua itu sudah ada jatah dan sudah diatur oleh Tuhan. Tapi gini mungkin ini sebuat pengibaratan, ‘Saat kita lapar. Jika sudah ada nasi di piring, lalu apa nasi itu akan datang sendiri ke mulut untuk kemudian dikunyah oleh gigi. Kan harus ada tangan untuk mengambil lalu menyuapi ke mulut. kita butuh perantara semisal cendok, tangan untuk mengambil dan sebagainya. Lha, kerja itu macam begitu, kerja itu hanya sebuah formalitas hidup."

"Yang dicari orang kan bukan hanya makan, atau hasil dari kerja yang bisa berupa harta kekayaan, berwujud materi" kata Lek Jo menimpali yang ternyata sejak tadi menyimak pembicaraanku dan Kang Ahmad

"Lalu buat apa kerja? Aku semakin bingung, Lek?" Tanyaku.

"Yah.. orang macam kamu kalau dikasih tahu malah balik membalikan tanya, tak berkesudahan jadinya” Jawab Lek Jo yang mungkin suntuk mendengarkan obrolanku dengan kan Ahmad.

“Lek, kalau kerja itu diartikan untuk membuktikan bahwa kita membutuhkan Tuhan dan hanya mencari Ridlo-nya, bagaimana? Sebab kalau kita sedang susah biasanya berdoanya manteng, khusuk dan tentunya jangan lupa jika dapat hasil, sisihkan untuk mereka yang membutuhkan agar mendapat ridlo-Nya” kata Kang Ahmad mengakhiri obrolan kami.

Benar juga cerita dari orang-orang, kayaknya kang Ahmad sudah berubah, lebih matang meski kemiskinan masih menjadi teman setia…
(mungkin kalau Kang Ahmad tidak bangkrut, ceritanya akan lain...)

_____________________________
Majalah Misykat edisi 61 Juni 2010 

gambar dari

yang tahu hanya aku dan Tuhanku

[kange]


"Ikhtiar adalah memilih" mungkin itu yang dapat kusimpulkan dari percakapanku bersama Lek Jo dan seseorang yang baru saja sowan ke Kiai Sholeh itu. Orang yang baru saja sowan itu sebut saja, Ia. Sebab tanpa mengenalkan diri, ia telah berkisah dan dalam percakapan itu sepertinya ia sangat terima kasih kepada Lek Jo yang telah menyarankan ia untuk bersilaturahmi ke ndalem Kiai Sholeh pagi tadi.

***

Sebelum untuk kedua kalinya orang itu datang ke kedai ini, Lek Jo tadi sebenarnya sempat sedikit bercerita. Tentang seseorang yang merasa dirinya 'hanya sebuah robot', yang dipaksa untuk selalu trengginas beraktifitas menuntaskan kerjaan. Dalam hati aku bergumam, bukankah bagus yang seperti itu. Tapi entah, tadi aku merasa kurang ngeh menanggapi apa yang diperbincangkan Lek Jo, sampai kemudian orang itu datang lagi untuk kedua kali. Bla... bla... bla... Panjang kali lebar sama dengan luas dan Lek Jo begitu banyak bercerita sampai aku sulit mengingat. Dan seingatku, Lek Jo hanya sangat kasihan akan psikis yang dialami orang itu.
"Kang, kau takkan menyangka? Sungguh yang ada dihadapan kita dan apa yang telah kita jalani dalam beraktifitas, bila tidak ada muhasabatun nafsi maka seringkali kita jadi salah niat. Ingatkah, pada awalnya memang benar. Kita jelas menginginkan tujuan itu, tapi sangkut paut dan gandeng ceneng suatu peristiwa dan kekalutan suasana kadang bisa merubah segalanya," ucap lek Jo.

"Maksudnya apa ini tentang orang yang datang tadi pagi itu, Lek?" timpalku.

"Yaa, untukku juga dan untuk kamu juga nggak apa-apa. Eh... itu tadi orang yang kuceritakan datang lagi kemari!" Jawab Lek Jo sembari beri isyarat atas kedatangan seseorang yang menuju ke kedai. Oh, ia ternyata begitu rapi, berperawakan tegap dan mungkin berdada bidang di balik balutan kemeja junkies putih lengan panjang yang ia lengkin hingga ke bawah siku. Dari wajahnya terpancar rasa percaya diri yang terpuaskan, ada semacam keyakinan yang terpendar. Padahal seingatku tadi Lek Jo menggambarkan orang itu tampak murung dan dipenuhi kecemasan. Sungguh ngga cocok dengan yang aku hadapi.

"Bagaimana?" tanya Lek Jo tiba-tiba ketika orang itu masuk ke kedai.

"Alhamdulilah, Lek. Apa yang saya risaukan ternyata hanya kerisauan masalah lahiriyah, kerisauan luar yang hanya disebabkan dari kesalahan logika pribadi. Saya berterima kasih, Lek" kata orang itu.

"Pinarak dulu, Mas. Panas-panas seperti ini jangan tergesa-gesa," sambil bergeser tempat duduk, aku menyilahkan duduk ke orang itu.


"Jangan berterima kasih kepada saya. Kiai Sholeh tadi dawuh gimana?" sahut Lek Jo.

"Iya, mungkin memang salah saya, Lek. Dari semula memaksakan diri kemudian meremehkan sampai-sampai akhirnya memberanikan diri untuk berbuat itu dan tak peduli meninggalkan begitu saja. Tapi sebenarnya ada bermacam keanehan yang entah aku sendiri tidak tahu, kalau yang seperti itu pada awal-awalnya mengapa banyak membawa keberuntungan? Dan ini saya anggap sebagai suatu keistimewaan yang orang lain tentunya tidak punya. Namun, kalau diresapi lebih dalam dan sungguh-sungguh merenung, pada titik jenuh aku merasakan sesuatu yang tidak utuh," kata orang itu. Lek Jo hanya mengangguk-angguk dan sesekali menghela nafas panjang.  Di sebelahnya aku hanya diam, mengerutkan kulit jidat sebab tak paham.

"Yang sabar, Mas. Semua ada hikmahnya. Yang terpenting kau sudah kembali dan tentunya tak ingin mengulang lagi kan?" kata Lek Jo.

"Ikhtiar adalah memilih, tadi Kiai Sholeh dawuh begitu. Lalu beliau menerangkan bahwa banyaknya waktu belum tentu akan melapangkan rizqi dan akan mendapat hasil melimpah. Tapi sesungguhnya berkah waktu yang akan lebih menentukan hasil yang diberikanNya. Dan mengenai berkah tentunya kau mampu memilih. Kita manusia sudah diberi keistimewaan berupa nafsu. Dan contoh-contoh telah ada. Tinggal diri kita mau apa tidak," kata orang itu. Sepertinya orang itu menirukan dawuhnya Kiai Sholeh. Tapi aku masih belum paham dengan percakapan ini dan akhirnya aku hanya diam dan diam...

"Kau ceritakan semuanya. Yang aneh dan yang mengganjal di hati," tanya Lek Jo lagi.

"Iya, Lek. Beliau banyak menceritakan pula tentang keistimewaan diri dan oleh sebab itu banyak orang-orang yang tertipu diri sendiri dengan menipu diri sendiri. Kemudian beliau dawuh, 'Jangan terlintas di pikiranmu, kamu mendapatkan keistimewaan diri dengan hanya beribadah dan wirid saja, atau sebaliknya seperti yang kamu lakukan. Karena keistimewan diri yang mulia dan tinggi nilainya adalah dengan istiqamah di dalam beribadah," kata Orang itu.

Aku mulai paham dengan yang diomongkan, tapi tiba-tiba orang itu berkata, "Saya mohon diri dulu. Kapan-kapan, insyaAllah disambung. Ada acara lainnya, Lek. Wassalamu'alaikum. Mari, Kang..."

"Wa'alaikumsalam, Hati-hati di jalan, Mas!" sambil salaman Lek Jo berkata dan kemudian menghantarnya sampai ke depan kedai.

Setelah orang itu membalikan punggung dan meninggalkan kedai, Lek Jo kemudian aku hadang dengan pertanyaan seputar percakapan tadi yang sempat membuat aku diam, "Sebenarnya ada apa tho, Lek?"

"Iya, persis seperti apa yang dia ucapkan tadi."

"Maksud, saya. Siapa dia dan kenapa?"

"Hmm, mungkin seorang yang diberi hidayah. Ia bekerja di bidang Manajemen Bisnis Marketing, semacam salesman yang menawarkan barang-barang produk rumah tangga dan beroperasi dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu . Pekerjaannya menuntut untuk selalu enerjik dan butuh ketelatenan dalam menghampiri satu per satu calon pembeli."

"Apa hubungannya, Lek?"

"Bentar, ngomongku belum selesai… Dalam menjalani pekerjaannya itu ia digoda kemalasan dalam melakukan ibadah, terutama shalat. Tapi tiap kali ia meninggalkan, bisnisnya malah lancar. Ia jadi bingung, sudah jelas ia melakukan kekeliruan tapi kok malah begini. Kadang nafsunya malah menambah-nambahi tanya, apakah ibadah cuma shalat? Atas kebingungan-kebingungannya itu, aku tadi menyarankan ia untuk sowan Kiai Sholeh. Dan sepertinya ia telah kembali"

"Semoga, Lek!"

"Hmm, orang akan selalu bilang, 'yang tahu hanya aku dan Tuhanku'. Meski tidak semua dinilai dari itu. Semoga kita selalu dalam lindungan-Nya dan bisa nderek tindak lampahe Kanjeng Nabi." kata Lek Jo sambil menghempaskan hembusan nafasnya dan yang seperti ini, sepertinya dapat membuang  segala beban pikirannya.

"Amin… ya Robbal 'alamin"


 Kediri, 07-2010

 ____________________

Catatan,

ndalem : rumah
trengginas : enerjik
ngeh : semangat
muhasabatun nafsi : intropeksi diri
gandeng ceneng : berkaitan
kemeja junkies : kemeja ketat
dawuh : petuah


Door Duisternis Tot Licht.



"Nduk, darimana?" tanya Kang Yazid mengagetkan dua orang santri putri yang jadi penumpang dibecaknya. "Saya habis belanja, Kang" jawab salah satu santri putri yang berkerudung putih. Kebetulan bagi Kang Yazid, sewaktu balik dari mengantar penumpang becak, seorang santri putra ke stasiun lalu ketika balik ia mendapat penumpang balikan dua orang santri putri. "Bukan itu. Sampean asalnya mana?" Lanjut kang Yazid. "Pondok Putri Kiai Husain,""Maksud saya Sampean asli dari daerah mana?" "Owh, saya dari Jepara..."
jawab salah satu santri putri itu lagi menunjukkan di mana dia Mondok. Muka Kang Yazid agak kecut, ia bingung juga; apa yang ditanyakan ternyata tidak sambung dan Kang Yazid bertanya lagi,

Kang Yazid pun terus terdiam, sambil mengayuh becak alur pikiranya teringat seorang pejuang emansipasi wanita dari Jepara. Ya, Raden Ajeng Kartini. Seorang istri ke empat dari Bupati Rembang di awal abad 20 pada masa kolonial, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Dalam batin kang Yazid bertanya, seorang yang kritis macam R.A. Kartini mengapa mau dipoligami? Mungkin masalah budaya, adat atau pertimbangan lain? Kang Yazid jadi ingat Obrolannya dengan Den Dargo, Mas Lukman dan Kang Sobri di Warung Lek Jo, beberapa saat lalu.

****

"Jarwo dhosok kata Wanita dalam tata bahasa jawa sering diartikan wani ditata, berani untuk diatur." Begitu kata Den Dargo memulai kata, ketika disodori pertanyaan oleh Kang Sobri tentang wanita. "Lho, budaya kita itu sejak dari zaman kerajaan, selalu menitik beratkan pada keluwesan seorang wanita. Kalian tahu tembang-tembang mocopat, kalau kita buka maknanya, maka terdapat hikmah pitutur bagi kelangsungan keseimbangan hidup yang dimulai dari seorang wanita," lanjut Den Dargo.

"Tapi sayangnya... Iya kan? Sudah banyak yang melupakan budayanya sendiri. Mana ada anak-anak sekarang yang bisa nembang langgam Kinanthi, Pangkur, Maskumambang, Dhandang Gula atau lainnya?" imbuh Mas Lukman.

"Riquest, Den! Satu langgam saja...," pinta Kang Sobri.

"Yen sira winengku kakung
ywa filar lomparing uni
tetuladhan kuna-kuna
kadising Rasulullah
kang amrih utamaning dyah
antuka swarga di"

Den Dargo kemudian nembang langgam ini, lalu ia berkata, "Bila engkau mendampingi suami, jangan lupa kisah dahulu, teladan zaman kuna, Hadis Rasulullah, demi keutamaan wanita sarana masuk surga. Kurang lebih begitu artinya, itu langgam Kinanthi dan masih banyak lagi langgam-langgam lainnya yang hampir sama dalam konsep kejawaan yang mengatur tata laku pria-wanita."

"Hmm, wanita... kalau dulu wanita dijajah oleh adat, dipingit ga boleh berbuat lebih tapi kalau sekarang terjajah oleh modernitas, ekspresi berlebih yang mengarah pada kebebasan yang keblabasan," Kang Sobri mengambil kesimpulan salah.

"Ngomong apa, Kang?" sambung Kang Yazid.

"lho, sekarang kan ngetrend itu, cewek-cewek pake celana pendek di atas lutut... Dan itu apa yang diharapkan R.A. Kartini, pejuang emansipasi?" Imbuh Kang Sobri.

"Ah... kalau nggak paham sejarah, jangan asal ngomong. R.A. Kartini begitu mulia, di awal tahun 1900-an telah mendirikan sekolah gratis untuk para wanita pribumi. Kita tahu di tahun-tahun itu bagaimana keadaan bangsa ini. Terjajah, bukan? Semua serba keterbatasan dan dibatasi oleh penjajah," kata Mas Lukman.

"Kartini adalah seorang pemudi yang begitu dahaga akan perubahan yang positif bagi para wanita khususnya dan bagi keluarga secara umumnya. Dan satu yang membuat saya takjub, tentang keberaniannya meminta kepada Kiai Sholeh bin Umar dari daerah Darat , Semarang untuk menerjemahkan al Quran ke bahasa Jawa. Begini sedikit penggalan permintaan Kartini, 'Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama (Al-Fatihah), dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?' Beberapa saat kemudian Kiai Sholeh Darat mengabulkan permintaan itu dan Sebuah Kitab Faidhir Rahman Fit Tafsiril Quran menjadi kado indah di hari pernikahan R.A. Kartini," Den Dargo menjelaskan.

"Hmm,..."

"Tapi kartini meninggal muda, di usia 25 tahun, empat hari setelah melahirkan putra pertama sekaligus terakhirnya," Kata Mas Lukman.

"Biarpun meninggal di usia yang masih cukup muda tapi Kartini telah menanamkan semangat bagi penerus bangsa ini. Mengajarkan wanita bukan hanya menjadi kanca wingking, dan mengenalkan pemahaman swargo nunut neraka katut. Ada satu kutipan darinya yang begitu mendasar, "Akan lebih banyak lagi yang saya kerjakan untuk bangsa ini bila saya ada di samping seseorang laki-laki yang cakap, yang saya hormati, yang mencintai rakyat rendah sebagai saya juga. Lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat kami usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri.“ lanjut Den Dargo.

"Den, apa sampean lagi baca buku karya R.A. Kartini?" tanya Mas Lukman.

"Iya, kemarin beli di Bazar Buku," Jawab Den Dargo.

"Kok sama, hahaha..." sahut Mas Lukman.

"Pantas saja ceritanya bisa Kompak," Sambung Kang Sobri.

hehehehe...

****

"Kang, kalau beli minuman susu jahe dimana?" tanya salah satu penumpang cewek itu mengagetkan Kang Yazid yang menayuh becak sambil menyimak dan mengingat-ingat ngobrolannya di warung Lek Jo tadi pagi. "Ya, nanti saya antar ke tempat itu.. buat oleh-oleh tamen, ya?"


"Bukan, tadi ada yang nitip saja," jawabnya. Tanpa banyak cakap Kang Yazid kemudian menuju ke Kedai minum lek Jo.

Kediri, 2010.

footnote:

Nduk: Sapaan Akrab Bahasa Jawa untuk Perempuan yang lebih muda

Jarwo Dhosok: Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yg ditulis dan dilafalkan sbg kata yg wajar (misal; mayjen-mayor jenderal, rudal-peluru kendali, dan sidak-inspeksi mendadak);

Macapat: tembang Jawa, ada 10 macam: Mijil, Pangkur, Kinanthi, Dhandang Gula, Sinom,Asmaradana, Megatruh, Durma, Maskumambang, Pucung.

Swargo Nunut Neraka Katut : Semua wanita tentu berbahagia bila suaminya mendapat kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan dalam masyarakat. Tanpa harus bersusah payah istrinya mempunyai hak penuh untuk menggunakan fasilitas dari suaminya itu. inilah makna swarga nunut dan begitulah sebaliknya neraka katut.

Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah terang) adalah Judul buku karya R.A. kartini yang berupa kumpulan tulisan surat-menyurat beliau dengan teman-teman Eropa. Door Duisternis Tot Licht, ungkapan ini sebenarnya terjemahan bahasa Belanda dari petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala yaitu Minadz Dzulumaati Ilan Nuur yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 257.

desa mawa cara negara mawa tata

Suasana hangat mendekati pemilihan Ketua RT, sehangat pisang goreng di meja warung Lek Jo, sore itu. Seperti biasa, untuk sekedar menemani kopi panas akan berubah menjadi dingin, orang-orang koyah (berbicara sedikit nggak mengarah) tentang kepentingan mendasar untuk pemilihan ketua RT ini. Tentu forum ini tidak resmi, sebab mereka hanya orang-orang kecil ditambah lagi kang santri-kang santri yang kadang sok tahu.

Pak Joko lagi asyik bercerita-cerita dengan Kang Yusuf, ustadz pondok putri yang kebetulan sore itu singgah di warung Lek Jo dan datang bersama Gus Irul yang juga seorang ustadz bantu di Pesantren. Cerita itu tentang Anak, Bapak dan Kuda, begini singkat ceritanya;...

Alkisah, ada anak dan bapak yang sedang bepergian dengan mengendarai kuda. ketika memasuki suatu pedukuhan/ perkampungan, karena sang bapak kasihan dengan anaknya yang harus berjalan kaki, maka ia menyuruh anaknya menaiki kuda, sedang sang bapak berjalan kaki, mengiringi. Kemudian bertemulah mereka dengan seseorang dan ia berkomentar, “Anak nggak punya sopan santun, membiarkan bapaknya berjalan kaki.”

Mendengar komentar itu Lalu sang bapak bergantian menaiki kuda. Perjalan dilanjutkan, dan si anak berjalan kaki mengiringi. Bertemulah mereka dengan seseorang orang lainnya dan orang itu pun berkomentar, “Bapak tidak tahu diri dan tidak punya kasihan pada anak, membiarkan anaknya berjalan kaki.”

Akhirnya, bapak dan anak itu sepakat untuk tidak menaiki kuda. Mereka berdua berjalan dan kudanya mengiringi. Dalam perjalanan selanjutnya, bertemulah mereka dengan orang yang lain lagi. “Hanya orang bodoh yang punya kendaraan kuda tapi nggak ditunggangi, mau sampai kapan tiba ditujuan.” komentar orang itu.
Pak Joko kemudian menyala tanya, "Hehehe... Kita mungkin sudah akrab dengan cerita itu tapi sekedar menyegarkan kembali. Ada dua hal pokok: satu, bagi yang menjalani yakni bapak dan anak, lalu yang kedua untuk yang asal komentar tanpa melihat muasalnya"

"Iya, pak. Kalau Pak Joko jadi bapaknya, kemudian mau bersikap bagaimana?" tanya mas Pri yang sejak tadi khusuk mendengarkan cerita.

"Wah, jangan memancing di air keruh. Kalian tentu tahu sekarang sudah nggak zamannya kerajaan, tapi tetap saja yang namanya anak macan akan menjadi macan. Ya, kan?" jawab Pak Joko.

"Beda Versi, pak. Kalau yang aku pernah baca, dalam cerita, kuda itu akhirnya mati sebab ditunggangi kepentingan anak-bapak yang serakah dan nggak kasihan sama kendaraan yang mereka berdua tunggangi." tiba-tiba celetuk mas guru Anam memecah udara. Semua memandang ke dia.

Suasana yang tadinya tenang kini agak tersentak oleh komentar mas Guru Anam, seorang guru muda, yang menjadi ketua Karang taruna. Ia sangat mengedepankan modernitas dan ia di garda depan pemilihan ketua RT yang menginginkan dengan sistem demokratis.

"Mohon, maaf. Sedikit menyela, saya cuma kang santri di pesantren, di dusun ini dan tentu kurang tahu menahu tentang kebiasaan di saat pemilihan ketua RT" Tanya Kang Yusuf

"Maksudnya, tolong yang jelas?" sahut Mas Guru Anam.

"Tentang cara pemilihan yang biasanya digunakan di RT sini" lanjut kang Yusuf.

"Kang Yusuf, sejak dulu pemilihan ketua RT dilakukan dengan cara ditunjuk oleh anggota musyawarah yang disepakati bersama. Anggota-anggota itu berisikan sesepuh dan orang-orang terpandang di dusun ini." Pak Joko menjawabnya.

"Wah, kalau menurut saya kok yang pas itu seperti pemilu, sebab yang jadi warga itu bukan cuma para sesepuh dan orang-orang terpandang," sanggah mas guru Anam.

"Begini, Mas Guru. Pemilihan dengan cara musyawarah mufakat mengurangi adanya indikasi money politik di akar rumput," bela Mas Pri.

"Iya, emang benar. Tapi di kalangan orang-orang terpandang, apa juga tidak ada money politik juga? Meski kadang bentuknya untuk kesejahteraan dan kemakmuran tapi yang menikmati 'kan orang-orang itu juga," sangkal Mas Guru Anam.

"hehehe... Mas Guru, singkat cerita Anda ingin semua kebagian gitu kalau pakai cara sistem "itung biting", apa justru seharus diminimalisir?" Timpal Pak Joko.

"Bukan begitu maksud saya?" kata mas Guru Anam.

"Hoy, lha wong cuma pemilihan ketua RT saja, sudah pada ribut. Yang inilah? Yang itulah? Yang nggak kredibel, bukan orang asli daerah sini... coba sekarang daripada ribut-ribut yang nggak jelas, mendingan kita tanyai sedikitlah Pak Joko dan minta kejelasan kenapa tadi bilang sudah "Sudah nggak zamannya kerajaan," kata Gus Irul sedikit menengahi ketegangan pembicaraan.

"Ya, emang gitu kok, Gus. Sekarang tuh orang yang bertanggungjawab, punya visi yang mampu untuk mengentaskan ketidakadilan dan mampu mengayomi semua kerukunan tetangga itu yang bagus." Jawab Pak Joko.

"Maksudnya dan apa hubungannya dengan sistem kerajaan" pinta Gus Irul lagi.

"Lho sudah tentu, kalau bapaknya macan anaknya pasti jadi macan. Tapi permasalahannya si anak ini macan ompong atau tidak? ha ha ha... itu yang membedakan" gurau Pak Joko.

ha ha ha

"Bapak dan anak harusnya konsisten mengedepankan warga, sekarang kan sudah nggak zaman tuh KTP dipungut biaya, ini sekedar contoh, lho." celetuk mas Pri.

"Mungkin kalau hanya sekedar untuk dapat uang di ketua RT itu ga ada, mas. Tapi status sosial dan gandeng canenge setelah itu yang mungkin menggiyurkan" kata Kang Yusuf.

"Dan bukan tidak mungkin lagi, segala cara digunakan demi sebuah kepantingan? Tentunya kepentingan yang baik dan jangan sebaliknya atau malah kayak cerita kuda dari Mas Anam. Ditunggangi sampai kelelahan dan mati, ini sebab kurang perawatan atau masa bodoh yang penting bisa ambil untung?" tambah Gus Irul.

Hahaha…

Lek Jo yang sejak tadi menyimak tiba-tiba nyeletuk, “Negara mawa cara desa mawa tata...”

“Apa artinya, Lek?” Tanya Gus Irul.

“Itu udah Azan Maghrib, besok lagi saja biar dijelaskan Pak Joko” Jawab lek Jo sambil jalan ke jendela dan lekas menutupnya. Orang-orang yang sedianya masih asyik cangkruk dan minum kopi pun seketika itu berkemas untuk membayar kemudian meninggalkan warung.


NB:

Balon: Bakal Calon
gandeng canenge: sangkut paut
itung biting: jenis pemilihan langsung dengan cara tiap warga memasukkan biting/ lidi ke bumbung yang sudah disediakan panitia

Desa mawa cara, negara mawa tata: sudah ada aturannya sendiri-sendiri

Dimuat di Majalah MISYKAT Lirboyo Edisi 58, Maret 2010/ Rabiul Awwal 1421 H dengan judul Balon Ketua RT



Kapan Kaya?

[ kange]

Lamat-lamat hembus angin mengendus dedahan serta reranting dan yang tampak goyong diliuk-liukkan angin adalah pepohonan besar. Semakin pohon itu tinggi, semakin hebat angin menerjang. Seperti pohon-pohon di pinggir jalan menuju ke pesantren, daun-daunnya rontok berguguran. Dan ini beda dengan rerumputan di depan warung Lek Jo yang tampak tenang, tapi tiap kali orang lewat dapat dipastikan salah satunya ada yang terinjak. Begitulah kalau jadi rumput tentu ada kemungkinan terinjak dan begitulah pula kalau jadi pohon besar dan tinggi, tak henti digoda angin-angin liar.

Kegaduhan dan keriuhan angin menyapa dedaun nggak berpengaruh di dalam Warung Lek Jo. Sebab mereka punya cerita sediri...

"Ad dunya sijnul mukmin; dunia itu penjara bagi orang-orang yang beriman. Emang sudah jelas kan? Apa yang nggak boleh oleh agama itu hal-hal yang enak. Kayak mabuk, judi, itu lho molimo? emoh limo, lima perkara yang dilarang agama," Kang Cutik tiba-tiba menyodorkan kata.

"Enak di dunia. Lhah, di akhirat? Tapi ada juga yang nggak enak lho, Kang? Maling. Ya, kan? Nggak mbayar dan kalau ketahuan massa lalu ketangkap, bisa jadi dibakar hidup-hidup," Mas Guru Anam membalikkan kata.

"Koruptor, enak, Mas? Nggak pernah ketahuan," sahut Lek Jo sambil memencet-mencet tombol dan me-mute-kan tayangan televisi.


Di Warung Lek Jo, semua berbaur akrab. Mas Guru Anam, seorang guru muda yang sesekali cangkruk di warung Lek Jo, terlihat akrab dengan kang santri-kang santri.

"Sampean kok tiba-tiba bicara tentang dunia dan penjara. Ada apa, Kang?" Tanya Lek Jo kepada Kang Cutik.

"Aku tadi sowan ke Kiai Sholeh, Lek. Ketepatan bareng sama pengede-pengede. Pejabat atau apa pengusaha lah? Tapi aku Nggak mudeng apa yang diomongkan mereka ke Mbah Kiai. Dan iya itu tadi salah satunya dawuh Mbah Kiai," jawab Kang Cutik.

"Emang, bener ya? Kalau maksiat itu mahal harganya. Untuk ke Papilon saja paling sedikit harus ngerogoh kocek 50 ribu rupiah, itu untuk masuknya saja belum termasuk softdrink," Tutur Mas Guru Anam.

"Papilon apa, Mas?" celetuk Kang Udin.

"Itu, lho. Bahasa jawa dari tempat yang bisa menjadikan pelo. Pelo nggak tahu juga? Pelo artinya Blo-on. Hehehe... Nama jawa dari diskotik, Bar, klub malam atau semacamnya yang menyediakan maysirun", Jawab Mas Guru.

"Kok mau ya, jadi blo-on?" sela kang Cutik

"Tapi kalau gadis mau masuk katanya gratis ya, Mas?" tanya Lek Jo.

"Iyo tho, Lek? sudah pernah, ya?" Tanya Kang Cutik.

hahaha..

"Mungkin bener juga kalau perempuan itu perhiasan? Untuk menarik pengunjung perempuaan bias jadi umpan dan ia digratiskan" Kang Ahmad tiba-tiba ikut urun rembug.

"Tapi ini jelas merugikan kaum hawa? Apalagi perempuan yang mau masuk, berarti menggadaikan harga diri dan mereka dilecehkan secara tidak langsung," lanjut Kang Ahmad.

"Huss serius banget... Biarlah urusan harga diri perempuan. Mereka mau jaga atau tidak, silahkan. Kang Cutik, lanjut cerita tadi saja. Ceritakan sowan sampean tadi?" Lanjut Lek Jo.

Semua di warung itu menoleh ke Kang Cutik. Seakan menanti jawab dan kata-kata kang Cutik selanjutnya.

"Waduh, kalau tepatnya secara perinci aku kurang ingat, Lek," kata kang Cutik.

"Intinya saja nggak apa-apa, Kang!" pinta kang Udin.

"Aku tadi juga telat dan masuk ke ndalem belakangan setelah para tamu itu. Dan hanya Dua yang aku ingat: itu tadi tentang dunia dan penjara. dan yang satunya tentang apa yang sebenarnya dicari dalam hidup," sambung Kang Cutik.

"Gimana, Kang?" desak Kang Ahmad

"Yang dicari orang hidup itu ketenangan," kang Cutik berkata meniru apa yang tadi didengar dari dawuhe Kiai Sholeh.

"Terus..."

"Lha, ini yang kadang membuat orang kebelinger. Menurut pandangan umum yang menenangkan adalah adanya perkara yang dapat membantu kelangsungan hidup secara langsung. Misal, di zaman sekarang ini seperti uang. Orang kalau punya uang atau katakanlah kekayaan materi, dia akan merasa tenang sebab semua bisa terpenuhi. Mau ini bisa, mau itu juga bisa. Bahkan di penjara pun enak?" lanjut Kang Cutik.

"Iya, Kang. Semua bisa dibeli?" sahut Mas Guru Anam.

"Tapi apa juga itu yang sebenernya dicari di dunia? Uang. Harta. Kekayaan" Tanya balik Kang Ahmad

"Wheess... aku nggak ikut-ikutan kalau ngomong tentang itu. Enaknya jadi orang kaya, aku sendiri juga belum pernah. Coba, siapa di antara kalian yang sudah pernah kaya?" Sambung Kang Udin.

hehehe..

"Iya nggak gitu, Kang. Minimal kan tahu gelagat orang kaya itu. Tetanggaku di kampung tiap malam tidak bisa tidur, sebab mobil-mobil angkot miliknya ada yang belum pulang. Dia selalu menunggu mobil-mobilnya yang belum pulang itu," kata Kang Ahmad.

"Itu sebagian dari kerja keras, Kang. Kalau mau kaya harus kerja keras"

"Tapi ya nggak ketungkul dan yang penting nggak terlalu. Sudah ada kaidahnya, apa-apa itu kalau terlalu bisa memabukkan. Termasuk uang, harta, kekayaan"

"Oalah, Kang-kang. Lha wong belum pernah kaya ae kok pada bingung? Ngayal sendiri-sendiri" ejek Lek Jo.

hehehe...

"Lha, Kang Cutik. Sampean sendiri sowan ke Mbah Kiai ada apa?" tanya Kang Ahmad.

"Minta nasehat biar cepet kaya?" jawab Kang Cutik.

Orang-orang di Warung itu sudah mulai tersenyum mendengar jawab Kang Cutik.

"Hayah... apa nggak keterlaluan. Hehehe... Dinasehati apa sama beliau?" Lanjut Lek Jo.

"Lumayan, aku dibalas senyum sama beliau dan untungnya pejabat-pejabat itu sudah pulang, kalau tidak mungkin aku sudah ditertawakan," kata kang Cutik tanpa beban.

hahaha... Orang-orang di dalam warung gaduh dan ramai sendiri menertawakan perihal kesowanan kang Cutik dan mereka kurang memperhatikan kata-kata Kang Cutik selanjutnya.

"Gini, singkat Beliau dawuh, kalau pingin kaya itu harus ada; niat baik, telaten-kerja keras, dan Yakin. Lalu amalkanlah doa ini, Allahummaj'aliddunya tahta aidiina, wala taj'alha fi qulu bina..."

Mendadak kang santri-kang santri itu terdiam, mau memperhatikan doa yang dilafalkan Kang Cutik tapi sudah terlanjur selesai dibaca.

Kang Udin kemudian meminta kepada Kang Cutik, "Iiiittt, yang doa diulang, Kang? Aku juga mau ngamalkan?

"Maaf, siaran langsung. Nggak bisa diulang," jawab kang Cutik enteng.


Lirboyo, 012010
nb: Allahummaj'aliddunya tahta aidiina, wala taj'alha fi qulu bina... artinya Duh Gusti, taruhlah dunia ini dalam genggam telapak tangan kami dan jangan Engkau letakkan di dalam hati kami.

Ma-ul Jahanam


Sore yang basah. Pertigaan di utara Pondok Pesantren masih diam tanpa ada sesuatu lain kecuali gerimis yang ramah menyapa bumi. Dari arah kota, terlintas becak yang menyibak gerimis dan becak itu berjalan menepi ke arah warung Lek Jo. Di dalam Warung, ada kang santri-kang santri yang biasa kerja paruh waktu (becak-an), mereka sedang duduk-duduk sembari menanti gerimis reda.

Tak seberapa lama, "Assalamu'alaikum" salam dari Kang Udin yang disambut koor jawab salam dari Kang Dirro, Kang Tuplik dan Lek Jo, "Wa'alaikum salam" yang sejak tadi berada di dalam warung.

"Darimana, Din?" tanya kang Dirro kepada kawan sesama arek becak-an.

"Itu, ngantar Mas Ahmad beli peralatan Dekor... hmm, katanya untuk menyambut kedatangan jama'ah haji. Tanya saja tuh orangnya lagi mau kesini!"

kawanan kambing di pasar krempyeng




Kang Tuplik biasanya mengembala kambing-kambing Kiai Soleh di lapangan timur pondok pesantren, tapi tidak untuk siang ini, ia mengawal 20-an kawanan kambing ke Pasar Kartanegara, sebuah pasar krempyeng, pasar pagi yang buka hanya sampai jam 8 pagi. Setelah itu biasanya pasar bubar, tinggal onggokan lapak dengan kayu-kayunya yang lapuk di mata termakan sinarmatahari dan hujan. Hanya ada 4 lajur gang dan beberapa sekat yang membelah pasar,selebihnya pasar hanya berupa bahu jalan yang terubah menjadi tempat transaksi. Kebanyakan para pedagangnya hanya mengelar kardus atau bagor sebagai tikar untuk gelar barang dagangan.

Oleh kang Tuplik, kambing-kambing itu dicarikan rewesan kubis, sisa-sisa daun Kol afkiran yang tak terjual. Sementara kambing-kambing itu lahap dengan rizqi yang diterimanya, kang Tuplik cangkruk di warung satu-satunya yang masih buka di pasar itu.

"Makde, cangkruk di sini juga tho?" tanya kang Tuplik menyapa Makde kariba, anak santri yang demi menuntut ilmu harus nyambi jadi tukang becak.

"Ho... Ho... Ho, kang Tuplik sampai sini juga, mengembala kok di pasar?"

][ Orang Asing, koruptor dan Orang Gila

[ Kange ]

Hari-hari berlalu meninggalkan ruang-ruang. Semakin ke depan, ruang di detik yang lalu semakin terlihat kuno, kolot, dan jumut. Semakin jauh tertinggal oleh waktu yang keburu-buru seperti seorang akan menuju kamar kecil. Ah, setelah selesai dan keluar dari kamar kecil, orang itu dengan santai melenggang. Dan ini gambaran waktu dan ruang yang hanya meninggalkan kenang.

Masih di bilangan pertigaan utara pondok pesantren, lapangan bola yang berada di sebelah barat pertigaan, sepi. Hanya kambing-kambing milik Kiai Sholeh yang dengan lezatnya menikmati rizqi dari Tuhan. Padahal hanya rumput? Kang Tuplik yang duduk di bawah Randu dengan hikmat mendendang merdu nadlom Jauharul Maknun sembari menunggui kambing-kambing yang sedang berbahagia itu.

Tak jauh dari lapangan bola, di Warung kopi Lek Jo, tukang becak-tukang becak sedang berkumpul sambil menikmati Kousujah (kopi+susu+jahe), minuman khas Warung Kopi Ngeh (Wakoping).
Sedangkan di dipan depan warung, bawah pohon cempedak, dua orang bergumul dengan pikirannya.

"Skak mat," sembari mengeser biduk Ster, Kang Amir setengah teriak memecahkan keheningan.
"Ha ha ha ha hah, kalah lagi kau. Sudah berapa ronde kita bermain, He?" lanjut Amir dengan tersenyum dan tawa bangga.

"Dah, ah. Ku kemasi caturnya. Kalah terus," keluh kang Dirro.

"He he he he. Biasalah kalah menang, Tuu. Tapi yang kalah biasanya ga bisa bikin sejarah. Ya, kan?" ejek Amir.

Mereka berdua kemudian menuju ke dalam warung. Di sana kang Udin sedang menikmati Kausujah dan menonton TV sendirian.

"Lek Jo kemana, Din? kok sendirian nonton tivinya," tanya Amir

"Ga tau, tadi pamit mau ke pasar Kertanegara, katanya belanja"

"Lah yang ngejaga sini siapa?"

"Halah biasanya ambil sendiri, kalau gak da orang. Penting kan bayar gak nguntet."

"Tu ada pembeli datang, kamu yang melayani, ya! Din!"

Dari arah depan warung datang seorang dengan baju putih, bercelana putih dan bersepatu fantofel. orang itu nampak necis sendiri dibanding ketiga orang-orang yang sudah ada di dalam warung.

"Assalamu'alaikum," salam ramah seorang yang tampak perlente itu.

"Wa'alaikum salam." Kompak mereka jawab salam itu.

"Kopinya satu, Mas" pinta orang yang tampak tersenyum ramah.

Udin kemudian membuatkan kopi itu karena Lek Bejo tidak sedang di Warung. Anak-anak becak-an sangat akrab dengan Lek Jo sampai-sampai mereka rela membantu kalau Lek Jo sedang tidak diwarung.

"Berita sekarang lagi ramai apa, mas?" tanya orang asing, kalem seakan mengedepankan penampilan bicara penuh pesona.

TV di warung itu memang sedang menyiarkan berita. Orang-orang menyimaknya.

"Berita korupsi, bos," jawab Dirro sok akrab.

Orang asing itu hanya tersenyum, ia kemudian berkata, "Korupsi di Indonesia sulit dihilangkan. Mungkin Anda di sini kurang begitu paham sepak terjang mereka; para koruptor. Kalau boleh saya ibaratkan koruptor itu tak lebih dari orang gila."

"Kok bisa begitu, Mas" sela Amir.

"Orang gila itu tak membutuhkan apa-apa, tapi dia sudah merasa berkecukupan untuk mendapatkan hal-hal seadanya."

"Lalu samanya di mana?" eyel Dirro.

"Bentar aku teruskan," jawab enteng orang asing itu sambil menyedu kopinya.

"Orang yang paling kaya adalah orang gila. Ini, satu logika kita. Orang gila tidak butuh apa-apa tapi sangat rakus dalam bertingkah karena labil jiwanya. lah kalau koruptor itu orang waras yang labil jiwanya karena tidak malu mengambil hak-hak orang lain. Alasan mereka eman-eman kalau sampai jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab. mendinglah ke tangan jatuh ke tanganku, nanti aku akan sedekahkan ke orang-orang miskin. itu kelah mereka."

"Ooo jadi mana yang lebih dahulu dapat yang kuasa atas uang korupsiaan itu," sela Dirro.

"Bukan hanya itu kadang malah ada semacam "Bagito" bagi andum roto. semua dapat," lanjut orang asing itu.

"Hmm,..." Amir nampak ingin mengucapkan sesuatu, "Tapi aku masih gak ngerti, nih? Koruptor sama dengan orang gila, ya?" tanya bingung Amir sambil garuk-garuk kepala.

"Jangan dipikir serius, Mas. Jadi ingat anu, aku. ee..., anekdot tentang 3 Koruptor." sambil senyum-senyum orang asing itu bercerita, "Begini ceritanya, ketika mereka bercakap tentang uang hasil korupsiaannya koruptor pertama berkata: hasil korupsiku aku bagikan 50 untuk aku, 50 untuk saya sedekahkan. koruptor kedua menyahut: kalau aku cuma ambil 30 persen, yang selebihnya aku infaqkan ke jalan Tuhan."

Setelah mengambil jeda nafas ia lalu melanjutkan, "Yang ketiga ini yang paling baik, koruptor ketiga berkata: kalau aku, aku berikan semua uang itu kepada Tuhan. Caranya, aku bawa uang itu ke tanah lapang atau ke pekarangan dan sambil berteriak "ini bagianMu Tuhan, ambil semua!" aku lemparkan uangnya ke udara dan dan aku hanya memunguti sisa-sisanya yang jatuh ke tanah"
Orang asing itu terus terpingkal-pingkal sendiri. Tertawa tak henti-henti, sampai gak ngerasa airmatanya berlinang. Perutnya dipegangi terus.

Melihat keadaan seperti itu antara kang Dirro, kang Udin dan kang Amir hanya saling pandang, saling tatap dan bengong nggak ngerti apa yang diketawakan orang asing itu.

Orang asing itu tiba-tiba berdiri dan sipat kuping lari terbirit. Nggak tahu kenapa? Dia seperti ketakutan melihat orang-orang yang berpakaian sama seperti dengannya datang. Melihat hal itu rombongan orang-orang itu kemudian mengejar orang asing yang baru saja lari.

Lek Jo yang ketepatan ikut mengiringi rombongan datang itu, tidak ikut mengejar. Dia kembali ke warungnya.

"Dia belum bayar, Lek. Kok malah lari, gak dikejar to?" keluh Udin.

"Gak apa-apa aku maklum kalau sama dia," jawab Lek Jo.

"Lho kok, itu rombongan sapa Mbah?" tanya Amir

"Itu tadi rombongan perawat yang mau menangkap pasien RSJ yang pada kabur. Termasuk orang asing yang lari itu, " jawab jelas Lek Jo.

"O, Pantes..."
__________________________________________

---------
091208
cerita untuk para koruptor

Bencana Negara, Bencana Swasta atau Negara Bencana?

Pertigaan utara pondok pesantren, lenggang. Seperti biasanya, sore itu jalan antar kecamatan terbujur kaku dan hanya sesekali dilintasi kendaraan. Maklum, wilayah di selatan lapangan bola itu, ada pondok pesantren besar, tapi santri-santrinya tidak diperbolehkan keluar demi peningkatan kualitas, dengan lebih menekuni materi keagamaan yang diberikan oleh Kiai. Dan memang di sini adalah daerah pinggiran kota yang sepi akan aktifitas kesibukan umumnya masyarakat.

Di timur pertigaan ada kedai berbentuk gubuk di atas kanal kecil, aliran irigrasi. Di sana tempat mangkal tukang becak yang kebanyakan anak-anak santri (ndalem), bakul dan kuli pasar atau kadang guru-guru sekolahan yang mereka semua penggemar catur.

Mereka biasa duduk-duduk sekedar main catur atau ngobrol ngalor ngidul mengomentari berita terhangat, nyantai sambil menikmati Kousujah (kopi+susu+jahe) dari kedai milik Lek Jo ini.

"Mbah, kok sepi? Teman-teman becak-an, kemana?" tanya kang Dirro, anak ndalem Kiai Soleh bagian mengembala kambing pada Mbah Jo, dipanggilan akrab Lek Jo.

"Entah, Kang. Sejak tadi pagi kayak gini, cuma nonton tivi terus."

"Sabar, Mbah. Untung ada tivi kalau tidak ada, kan jadi tambah anak lagi?" Canda kang Dirro pada Lek Jo.

"Huss...coba besok kalau kamu dah kawin" jawab Lek Jo.

"Ni, remotnya. Kamu minum apa?" lanjut Lek Jo memberikan remot televisi yang biasa di tonton bersama sembari menawarkan minuman.


"Kausujah, . Nonton berita saja, Ya?" pinta kang Dirro.

"Seru, Lek. Banyak bencana?" lanjut kang Dirro.

"Bencana kok digemari," timbal Lek Jo.

"eh... tu Takir datang!" kabar Lek Jo yang melihat Takir datang mengayuh becak. Setelah memarkir becak di bawah pohon cempedak depan gubuk.

Setengah berteriak Takir memesan minuman, "Es tehnya, Lek." Takir kemudian masuk kedai sambil berkata, "eh..., kang Dirro, dah tadi? Nonton apa?"

"Berita? Dari tahun ke tahun, bencana tambah dan tambah. Dari sabang sampai Merauke ada semua. Pokoknya komplit; darat, laut, dan udara ada semua. Yang agak besar disebut bencana negara. Mungkin nggak, ya? Besok ada bencana diswastakan?" kelakar kang Dirro

"Ah, bisa saja. Kalau saya sregnya, kok bencana-bencana negara itu sudah pada tempatnya dan tepat menjadikan negara kita sebagai Negara Bencana," balas kang Tuplik enteng.

sambil melirik wajah Kang Tuplik yang agak dingin menanggapi masalah, kang Dirro berujar, "Lha, klo kelaparan jamaah haji di tanah suci, itu bencana juga, tho?"

"tergantung yang menanggapi. Maksudnya dari dibesar-besarkan berita itu, inginya menakut-nakuti orang yang ingin pergi berhaji di tahun mendatang atau skenario untuk depag dibubarkan?" kalau aku tidak mau dua-duanya?" jawab kang Dirro menyisakan tanda tanya.

"Wah...wah...wah, kayaknya kok rame, ngobrol apa tho, Kang?" Timpal mas Joko, Guru Honorer yang datang tiba-tiba, sembari masuk kedai.

"Ini lho, Mas. Bencana Negara inginya kami swastakan saja," kata kang Dirro.

"Bukan, itu. Kita tetapkan negara kita jadi Negara Bencara! timpal Tuplik.

"Ngelantur saja, ngawur itu, asal ngomong!" sela Lek Jo yang dari tadi hanya mendengarkan gojlok canda Kang-kang.

"ha...ha...ha..." tawa renyah memecah

Mas joko memesan minuman, "Kausujah satu, De!"
Sembari menonton kelaparan jamaah haji mas Joko ikut urun rembug,

"Oh itu, tho? Di sana mereka berebut makanan? Wah, pas itu, menggambarkan orang Indonesia dan seperti adanya orang Indonesia di sini. Selalu berebut makanan. Korupsi kan merejalela?"

"Saya juga heran, kenapa orang dulu sangat berharap bisa meninggal waktu pergi haji, tapi orang sekarang kok malah pada takut, ya? Malah-malah minta ganti rugi segala," timpal Lek Jo.

"Bukan cuma itu, Mbah.Depag dituntut men-swastakan penanganan haji! Itu beritanya!" kata kang Tuplik.

"lho, kok gitu? Terus kerja depag besok apa, ya? Lama-lama Depag bisa dibubarkannkarena nggak punya kerjaan. Dan bisa-bisa Indonesia jadi sekuler. Wah, hebat kayak Amerika!" Sahut kang Dirro.

"Nggak gitu, Tro. itu...," kata kang Dirro menunjuk TV, "Sekarang saja, baru pindah katering sudah geger. Apa jadinya kalau pindah swasta? Bisa jadi perang saudara. Lucu orang Indonesia itu, punya satu nggak dirumat, punya dua berantem." Lek Jo.

Tiba-tiba mas Joko mengalihkan mengalihkan pembicaraan. "Eh, sudah tahu belum, tentang mengapa bencana-bencana itu beruntun ke Indonesia dan selalu memakan banyak korban?"

"Ya, memang sudah dipastikan begitu," sahut Lek Jo.

"Bukan itu maksudnya, Mbah. Ini adalah cobaan atau azab?" kata kang Sastro tak terima.

"Maksud mas Joko sendiri apa?" tanya kang Dirro.

"Gini, Kata orang-orang; memamg para korban itu dibuat korban oelh penguasa"

"Maksudnya, Mas? Mereka dijadikan tumbal, gitu" timpal kang Tuplik.

"Kurang lebih begitu, jadi tumbal demi langgengnya kekuasaan," jawab Mas Joko serius

"Benar juga, mas. Tsunami, Gempa Jogja, Lumpur Sidoarjo, Situ Gintung? Belum yang lain-lain kayak; KM. Senopati, Adam Air, Herkules Magetan" kang Dirro membenarkan.

"ck ck ck ck, kalau benar begitu, wah kejam, ya?" sahut Kang Tuplik

"Eh...eh...Mistik lagi. Klenik lagi. Yang lain Tho, Mas. Kapan Indonesia maju kalau bau kemenyan terus. Bencana itu kan datangnya dari Tuhan. Jadi kayak bencana itu cermin bagi diri kita. Apa kita benar-benar bersalah pada Tuhan? atau memang Tuhan sangat mencintai kita hingga kita salah sedikitnya saja sudah ditegur, ya dengan bencana-bencana itu?" tandas Lek Jo, sareh.

"Ya, nggak gitu, Mbah. Opini yang berkembang di Masyarakt memang begitu," bela Mas Joko.

"Iya, De" Kalau saja jadi unggas pun saya nggak terima. Dibantai, dimusnahkan," sahut Kang Tuplik.

Kang Dirro menyela. "lho, itu kan pas? betul itu demonya burung dengan flu burung. bahkan menyewa nyamuk untuk demo anarki menyebarkan demam berdarah dan flu Babi yang mengancam."

"Maksudnya?" tanya Kang Tuplik.

"Lha, wong ayam untuk dimakan kok malah disabung. Merpati ingin bebas, kok diadu terbang. Burung ingin terbang bebas, malah ditaruh sangkar? Babi nggak boleh dikonsumsi, pada dimakan saja" jawab Kang Dirro

"Ah, yang begitu kok dipelihara. Berkacalah! Ngilo o!! Maksiat kita sudah banyak dan terang terangan pula. kau liat alam sekitar, terlalu sering kita menyakiti. jadinya alam nggak terima, nggak mau bersahabat, jadi banyak bencana." timpal Lek Jo.

"Wah kayak lagunya Ebiet, Mbah?" sela kang Tuplik.

"Huss, Yang diperlukan sekarang ini apa? Untuk mengerem datangnya Bencana Negara lagi atau menghilangkan kesan Indonesia sebagai Negara Bencana itu apa?"

Tiba-tiba kang Tuplik sedikit berteriak memecah keheningan suasana berpikir mereka,

"Eh, itu! Ro! Kambingmu jatuh ke irigasi. Hanyut, Ro!" sambil menujuk kearah kambing.


Sipat kuping, Kang Dirro berdiri dan keluar kedai,
"Waduh, Bencana iki. Lek Jo bayarnya nanti, Ya!"
sembari berlari kang Dirro berpamitan untuk menyelamatkan kambing.

"Kamu, Ro...Dirro. Sedang gembala kambing, kok di tinggal cangkruk. Ya, gini jadinya," Kata Mas Joko. tertawa terkekeh...

Kemudian Mas Joko pun pamitan, Disusul Kang Dirro yang juga mau mandi.

_______

Sebuah cerita mengenang bertubinya Bencana yang menimpa Indonesia
Pernah diterbitkan di Majalah Misykat Edisi 32 th 2007 (ini sedikit diedit)

perempuan, oh perempuan!!!

"Heeeeh!!!," Lek Jo membuyarkan pandangan menerawang kang Dirro.
"Kapan kamu nikah," lanjut Lek Jo menggoda kang Dirro, santri yang telah usur untuk pasangan nikah ideal.

"Aalaaaah, Mbah...Dirro iku ga doyan cewek, Lek," Kang Sastro menimpali kata.

cerah sore itu membaur dengan nuansa kebersamaan di Wakoping (Warung kopi ngeh) milik Mbah Jo. Tampak mas Guru Slamet dan Makde Kariba sedang asik main catur di dipan, bawah pohon cempedak, depan warung. Di dalam warung Kang Sastro, kang Tuplik dan Kang Dirro nonton berita televisi.
Namun, Dirro malah melamun menatap karyawati-karyawati pabrik rokok yang sore itu memang sedang ramai-ramainya pulang kerja.
"Iyo, betul begitu, Ro?" tanya Lek Jo.
"Tidak, Lek."
"Tidak, gimana? Lah sekarang saja kamu belum nikah-nikah," hina Tuplik
"Tidak tega aku melihat perempuan-perempuan sekarang," tiba-tiba jawab Dirro dengan wajah serius.
"Apa memang sudah zamannya, ya sekarang; wanita itu dieksploitasi" lanjut Dirro.
"Ya, enggak. Wanita tetap dalam tatanan Eksperimen," Sastro enteng menanggapi.
"Kok bisa, Tro," Tuplik meminta penjelasan.
"Lah orang menikah itu kan Eksperimen, sama-sama bukan siapa-siapa, lalu jadi satu dan berkembang jadi banyak," jawab sastro.

"Maksudnya dari tidak kenal jadi kenal dan punya anak banyak, gitu Tro" tegas Lek Jo.
"Iyo, Lek"
"Bukan itu yang aku maksudkan. Eksploitasi di sini dilihat dari segi komediti"
"Apa iku komediti," tanya Tuplik.
"Eh, salah to? Maksudnya yang seperti di Hadis itu lo; 'ad dunya mata'un wa khoiru mata' mar'atushsholihah'. Lah, zaman sekarang kan juga jadinya seperti itu?" Dirro membela diri.
"Produk apa yang sekarang yang dalam iklannya ga ada wanitanya? Wis to apa coba." Tanya Dirro balik.
suasana mendadak hening, diam sendiri-sendiri merenungkan apa yang diucapkan Dirro.
"Swimpack ada, ya. Rokok, ada. Motor, ada. Apa, ya?" Tuplik menyela.
"Di sini merupakan satu bukti bahwa wanita itu disamakan dengan barang. Tapi yang paling berharga karena dapat mengundang jiwa-jiwa. Bener juga Hadis itu?" lanjut Dirro.
"Ga, terima aku. Aku juga punya ibu, punya Mbak Yu, punya Adik perempuan juga. Kau katakan wanita itu disamakan dengan barang yang mudah dieksploitasi?" eyel Sastro.
"Tapi.. ya ada benarnya, Tro. Film-film bokep banyak tuh sebagai penikmatnya adalah pria. Itu bukti lagi eksploitasi wanita," bela Tuplik.
"kok ya mau ya? disuruh telanjang di depan orang banyak?" lanjut Tuplik.
"Sudah zamannya. Orang-orang tua sekarang kan bisanya cuma menasehati; kalau main jangan di tengah jalan, sana loh minggir di tempat-tempat sepi," Lek Jo nimbrung jawaban.
"Main apa, Mbah?"
"hahahahhaaha" gerrrr tawa renyah terkembang di bibir-bibir orang-orang pinggiran ini.
tawa ini cairkan suasana. Sementara itu Makde Kariba dan Mas Guru Slamet telah merampungkan tiga ronde catur, mereka berdua bergegas mengembalikan gelas ke dalam warung dan membayar.

"Canda apa, toh? Kok kayak krupuk; renyah" tanya Makde Kariba.
"Itu, De. Mbah Jo. Ga, nyambung," jawab Sastro.
"Ga Nyambung pie? Zaman sekarang kan gitu, senggama, bikin anak, itu sudah menjadi satu hal yang tidak serius. Mereka buka-bukaan rahasia ke khalayak umum. Atas nama cinta dan keisengan belaka? Mereka sama-sama ga sadar telah dijebak dan dieksploitasi. Hanya atas nama cinta dan kasih sayang, ditipu habis-habisan dengan ancaman diputus oleh kekasihnya," lanjut Lek Jo.
"Benar juga kata-kata itu; cinta kerap dijadikan alat untuk membutakan logika," sambung Makde kariba.
"Yo, bener ku, Lek Jo. Hubungan seks yang dilakukan berdasarkan suka sama suka di antara pelakunya bukan lagi merupakan dosa,” Sela Mas Guru Slamet.
hahahhahaahhahahaha tawa meledak dantara mereka.
"Pandangan anak-anak muda sekarang kayak gitu, Lek? Apa sudah ga menyimpang, ya? Eeh..yang menarik lagi, tinjauan orang-orang ni; bersenggama itu karena kesehatan bukan karena keturunan. Maksudnya orang ngeseks itu boleh-boleh saja asal pakai kondom. Itu yang aku tangkap dari iklan-iklan kondom," lanjut Mas Guru Slamet.
"hahahahaha."

"Gitu, Tro. Susah sekarang itu cari perawan," ejek Dirro.
"Pantesan saja, ga nikah-nikah," sahut Tumplik sambil melirik Kang Dirro.
"Mungkin belum saatnya, Ro. Sabar...," Lek Jo ngedem-ngedemi.

"Mbah, tadi kousujah (kopi+susu+jahe) dua, pisang goreng tiga, terus kamu makan apa De? sekalian saja" kata Mas Guru Slamet.
"Dah Mas, Pegawai negri kan miskin, gajinya kecil. Aku bayar sendiri saja?" jawab Makde Kariba.
"Yau dah. eh kang-kang santri," panggil Mas Guru pada ketiga santri yang lagi asyik ngeh kousujah sambil nonton televisi.
"Bener tu kata Lek Jo. Sejak dulu, Nge-seks itu kebutuhan primer cuma sekarang ini berbelok arah. Dari yang asalnya sebagai reproduksi tuk dapat keturunan, sekarang hanya sekedar mencari kesenangan belaka. Masalah amanah dari Tuhan sudah ga berlaku. Seks manjadi komoditi dan konsumtif, begitu juga si perempuan yang mau saja dijadikan pramusyahwat," kata Mas Guru Slamet.

"Ni.. Mbah. Uangnya pas kan? Aku pareng dulu. Wassalamu'alaikum," pamit Mas Guru Slame.

"Ngomong opo iku, komoditi dan konsumtif. Ga paham, aku?" bisik Tuplik ke Dirro.

"intlek, Plik!!!!"

dugdeng

Siang cerah. Langit tampak mulus biru tanpa gumpalan awan. Layang layang terbang, ada yang beradu benang, saling serang; kawan jadi lawan. sedetik kemudian layanglayang berputus dari benang, menjerbak terbawa tiupan angin. Si kecil berlari-lari berlomba mengejar layanglayang yang putus. Ada kepuasan tersendiri mendapat layanglayang terputus dari benang, daripada beli dipasar. Dibenak mereka berebut menunjukkan keberanian, ketangkasan, kecerdikan, dan kemenangan.
Sementara dunia anak sibuk akan keceriannya, di warung kopi Ngeh milik Lek Jo, sembari ngopi orang-orang sibuk berkomentar seputar kehidupan.

"ckckckc...."

"Aneh, tren akhir-akhir ini? pingin terkenal pada nekad? Kenapa ya?" tiba-tiba pertanyaan Lek Jo menyeruak meninggalkan ngiang telinga dan seakan menarik kepala orang-orang yang sedang khusuk menyimak berita TV.

"Mungkin, tafsiran tentang orang sakti sekarang ini telah berubah," sanggah kang Cuthik enteng.

"Lho, kok sakti?" sambung Mas Joko menanyakan hal yang tidak nyambung itu.

Tanpa memandang kang Cuthik menjawab, "Ya, begitulah orang sakti itu zaman dulu, dipandang lebih. Kan ini sama dengan yang sekarang, orang terkenal itu akan dipandang lebih?"

"hehehehehe"

Canda ringan kang Cuthik garing.

"Kayak bocah-bocah yang berebut layanglayang itu, yang berani, tangkas, cerdik akan menang. Itu namanya sakti," lanjut Cuthik, orang yang perawakannya bukan hanya kurus tapi kerempeng, antara tulang dan kulit tampak tak bersekat.

"Lha, sekarang orang sakti sudah tidak ada, yang ada orang orang sakit. Beda tipis, ya?" balas kang Dirro.

"He, kalau omong yang nggenah, jangan sembarangan, asal saja. Terakhir kali kau ngomong banyak orang jadi sakit," sahut Lek Jo.

"hehehehe"

"Sakti mungkin, bukan sakit, Lek?" timpal kang Cuthik.

"Bener, lho? Kalau mau terkenal panjat tower itu, lalu pura-pura mau bunuh diri. Tapi purapura saja jangan serius. Nanti para wartawan kan tahu, lalu meliputmu dan terkenal jadinya,"usul Mas Joko.

"Masuk Tipi."

"Orang sekarang memang begitu ya sudah masuk tv pasti dianggap terkenal?" tanya kang Dirro.

"Kemaruk mereka itu, ya?" kata Makde Kariba yang sejak tadi diam menyimak percakapan.

"Kok mereka, kita mungkin juga gitu?" kang Cuthik menyanggah

"hehehe" gggggrrrrrrrr "hahahaha"

"Pikiran kita kok segitu, ya? Masuk tv pasti terkenal," ucap Mas Joko.

"Lho, bisa gagah-gagahan bila melakukan hal yang aneh. Coba simak perkembangan belakang ini, sekarang filmfilm bokep sudah biasa, yang lagi terkenal sekarang filmfilm aborsi. Itukan aneh jadi terkenal, deh?" ujar kang cuthik.

"hehehehe"

"Seseorang yang berkeyakinan lebih mungkin juga akan merasa benar," sela kang Dirro.

"Ini pasti tentang aliran sesat?" timpal kang Cuthik.

"Yeee, tau aja, satu pertanyaan sulit, yang perlu dijawab? siapa yang menganggap sesat, jika seandainya yang dianggap sesat itu adalah mayoritas, apa tidak mungkin yang mayoritas itu dianggap sesat? Tentunya oleh yang minoritas?" tanya kang Dirro.

"Mbulet katakatamu?" tolak kang Cuthik.

"Memang butuh penafsiran yang bukan orang biasa yang tidak dapat mencerna?" balas kang Dirro.

"Ah, ga mau ngomong aku sama orang sakit?"

"Hee orang sakti, bukan sakit! Yo, begitulah orang"

"Ya ya orang terkenal..."

"terkenal apa?"

"terkenal sakit."

"Udah udah, orang terkenal itu sakti tapi sakit. Sakit kehidupan pribadinya yang selalu terexpose," lerai Mas Joko.

"Apa, mas? Expose, makanan apalagi itu?" tanya kang Cuthik, bukan mengejek tapi bener-bener tidak tahu.

"Udah, ah diam! itu dah mulai beritanya," Lek Jo menengahi.

Mereka kemudian khusuk menyimak berita, yang melebihi kekhusukan saat khuthbah jum'at. Dan begitulah obrolan-obrolan mereka mengambang nan menelanjangi kepolosan.
Riuh di luar warung, anak-anak kecil berebut layanglayang yang terputus benangnya.

------
2009

dugdeng = sakti

dibuat saat rame2nya film aborsi