kawanan kambing di pasar krempyeng




Kang Tuplik biasanya mengembala kambing-kambing Kiai Soleh di lapangan timur pondok pesantren, tapi tidak untuk siang ini, ia mengawal 20-an kawanan kambing ke Pasar Kartanegara, sebuah pasar krempyeng, pasar pagi yang buka hanya sampai jam 8 pagi. Setelah itu biasanya pasar bubar, tinggal onggokan lapak dengan kayu-kayunya yang lapuk di mata termakan sinarmatahari dan hujan. Hanya ada 4 lajur gang dan beberapa sekat yang membelah pasar,selebihnya pasar hanya berupa bahu jalan yang terubah menjadi tempat transaksi. Kebanyakan para pedagangnya hanya mengelar kardus atau bagor sebagai tikar untuk gelar barang dagangan.

Oleh kang Tuplik, kambing-kambing itu dicarikan rewesan kubis, sisa-sisa daun Kol afkiran yang tak terjual. Sementara kambing-kambing itu lahap dengan rizqi yang diterimanya, kang Tuplik cangkruk di warung satu-satunya yang masih buka di pasar itu.

"Makde, cangkruk di sini juga tho?" tanya kang Tuplik menyapa Makde kariba, anak santri yang demi menuntut ilmu harus nyambi jadi tukang becak.

"Ho... Ho... Ho, kang Tuplik sampai sini juga, mengembala kok di pasar?"


"Ini enaknya kalau pasar tradisional. Kalau supermarket ataupun minimarket, yang bisa menikmati hanya orang-orang yang punya uang saja?" jawab ngacau kang Tuplik.

"Ya, ga gitu. Kebersihan mereka terjaga, jadinya layak, ga kayak kamu-kamu," sahut penjaga warung, yang kemudian menyilahkan kang Tuplik dan menawari menu warung itu, "Minumnya apa, Kang?"

"Es teh, esnya yang banyak, Lek," pinta kang Tuplik kepada penjaga warung.

Di kota ini, walau nggak kenal sama penjaga warung biasanya mereka menyapa dengan sapaan; Lek, untuk siapa saja penjaga warung.

"Bersih, si bersih. Sampai-sampai orang kecil nggak ada yang bisa bersaing. Yang besar tambah besar, yang kecil diinjak-injak terus," Makde Kariba menyela omongan.

"Ya, kerja to mas, yang ulet, tekun, dan istiqmah. Disiplin gitu. Sampaean masih percaya to dan punya Tuhan? Yang terpenting lagi jujur dan dapat dipercaya," sembari mengadoni es teh, Lek penjaga warung itu menjawab.

"Ngomong-ngomong, emang enak lho jadi orang kecil, ga teratur peraturan-peraturan. Coba deh kamu jadi presiden, yang harus protokoler lah, protap lah, ga bisa kemana-mana sendiri lah? Susah malah kayaknya kalau jadi presiden," kata orang yang duduk di deret ujung bangku. Orang itu berperakawan kurus dengan tampilan necis dan potongan rambut klimis. Sepertinya dia seorang seorang pegawai sipil.

Di warung kecil ini siapa saja boleh berkomentar, kadang orang yang gak kenal sekalipun bisa akrab berbagi dan berkeluh kesah tentang ketidaksukaan atau kesukaan bersama.

"Ya, enak jadi presiden, Mas. Tinggal perintah sana sini, dihormati selalu, kemana-mana selalu disambut meriah. Tidak seperti kamu, Plik... yang nyambut hanya kambing-kambing," jawab Makde Kariba sambil menatap Kang Tuplik yang senyum-senyum sendiri sebab dikatain begitu.

"Sama saja, demo-demo juga sambut presiden. kita lihat ke depan, orang yang nggak suka itu lebih banyak. ya entah nggak percaya atau memang iri kita nggak tahu," Lek penjaga warung menyela jawab.

"Oe, pingin tahu nggak klo aku jadi presiden, strategi apa yang aku pakai untuk menghadapi orang-orang macam kalian yang banyak omong, he... he... he...," lanjut Lek penjaga warung kepada orang-orang yang lagi cangkruk di warung itu.

ger ger ger he he he he... riuh tawa cekikik dan senyum-senyum masam tampak di bibir orang -orang yang cangkruk.

Makde Kariba kembali melirik ke kang Tuplik, ia lalu melanjutkan kata, "Aku tahu, Lek. Gini-gini, pertama; jadikan diri kita pengepul, maksudnya semua menjual ke kita dan jelas bikin tertarik kepada kita, simpatik akan mengalir deras pasti. Kedua; bikin sudut pandangan buruk pada yang rese-rese kayak mahasiswa, buruh, atau orang-orang yang nggak kenal kompromi seperti aliran garis keraslah. Bikin kambing hitam pada mereka. Biarkan mereka beraksi, seting agar arogansi mereka kelihat, dari sini kan masyarakat pasti menilai buruk tingkah mereka. Ketiga; rawat baik-baik yang telah menjadi bawahan kita jangan biarkan kambing-kambing itu lari, seperti kambingmu tho, kalau kamu ajak untuk cari makan kan semangat he... he... he...."

Siang itu kang Tuplik menjadi bahan ketawaan teman-teman cangkrukan. Dia hanya senyum-senyum saja. dalam hati ia bilang, nggak masalah. Kang Tuplik lalu angkat bicara, "Santai, De. Siapa tahu dan tahu siapa? Sekarang yang penting kambing-kambing kenyang. Iya, Nggak?"

"Ehh, Aku tambahi, De. Yang selanjutnya, Brangus habis perusak kestabilitasan pasar, kayak Kang Tuplik ini... wkwkwk. Dan mendingan kambing-kambingmu diadu saja Kang Tuplik biar pasar jadi ramai ada tontonan, warungku kan juga jadi ikut ramai hehehe...!" Lanjut Lek penjaga warung.

"Kamu tuh juga aneh, Kang Tuplik. Menggembala kambing ke pasar... kasihan tuh Pak Kijan yang harus bersih-bersih mendil kambing-kambingmu," Orang yang duduk di deret ujung bangku warung angkat bicara sambil mandang Pak Kijan tukang sapu pasar yang sedang menggusah/ menyuruh pergi kambing-kambing itu.

"Iya, Plik. Kasihan Pak Kijan," lanjut Makde Kariba.

Tak berselang beberapa detik, dari luar warung ada teriakan,
"Kambing siapa ini. Minta dibunuh atau diapakan? Hoii...!!!"

Orang-orang yang lagi cangkruk gergeran tak henti melihat Kang Tuplik tunggang langgang langsung lari mengejar ke kambing-kambing gembalanya.

112009
_________________
nb:

pasar krempyeng: pasar pagi yang buka hanya sampai jam 8 pagi atau setengah hari saja.
Rewesan Kubis : daun Kol setengah kumal, afkiran yang ga kepakai dan ga kejual
Bagor : karung
cekikik : tertawa ringan
rese-rese: menyebalkan
gergeran: mengundang tawa
Share:

0 comments:

Post a Comment