Kapan Kaya?

[ kange]

Lamat-lamat hembus angin mengendus dedahan serta reranting dan yang tampak goyong diliuk-liukkan angin adalah pepohonan besar. Semakin pohon itu tinggi, semakin hebat angin menerjang. Seperti pohon-pohon di pinggir jalan menuju ke pesantren, daun-daunnya rontok berguguran. Dan ini beda dengan rerumputan di depan warung Lek Jo yang tampak tenang, tapi tiap kali orang lewat dapat dipastikan salah satunya ada yang terinjak. Begitulah kalau jadi rumput tentu ada kemungkinan terinjak dan begitulah pula kalau jadi pohon besar dan tinggi, tak henti digoda angin-angin liar.

Kegaduhan dan keriuhan angin menyapa dedaun nggak berpengaruh di dalam Warung Lek Jo. Sebab mereka punya cerita sediri...

"Ad dunya sijnul mukmin; dunia itu penjara bagi orang-orang yang beriman. Emang sudah jelas kan? Apa yang nggak boleh oleh agama itu hal-hal yang enak. Kayak mabuk, judi, itu lho molimo? emoh limo, lima perkara yang dilarang agama," Kang Cutik tiba-tiba menyodorkan kata.

"Enak di dunia. Lhah, di akhirat? Tapi ada juga yang nggak enak lho, Kang? Maling. Ya, kan? Nggak mbayar dan kalau ketahuan massa lalu ketangkap, bisa jadi dibakar hidup-hidup," Mas Guru Anam membalikkan kata.

"Koruptor, enak, Mas? Nggak pernah ketahuan," sahut Lek Jo sambil memencet-mencet tombol dan me-mute-kan tayangan televisi.


Di Warung Lek Jo, semua berbaur akrab. Mas Guru Anam, seorang guru muda yang sesekali cangkruk di warung Lek Jo, terlihat akrab dengan kang santri-kang santri.

"Sampean kok tiba-tiba bicara tentang dunia dan penjara. Ada apa, Kang?" Tanya Lek Jo kepada Kang Cutik.

"Aku tadi sowan ke Kiai Sholeh, Lek. Ketepatan bareng sama pengede-pengede. Pejabat atau apa pengusaha lah? Tapi aku Nggak mudeng apa yang diomongkan mereka ke Mbah Kiai. Dan iya itu tadi salah satunya dawuh Mbah Kiai," jawab Kang Cutik.

"Emang, bener ya? Kalau maksiat itu mahal harganya. Untuk ke Papilon saja paling sedikit harus ngerogoh kocek 50 ribu rupiah, itu untuk masuknya saja belum termasuk softdrink," Tutur Mas Guru Anam.

"Papilon apa, Mas?" celetuk Kang Udin.

"Itu, lho. Bahasa jawa dari tempat yang bisa menjadikan pelo. Pelo nggak tahu juga? Pelo artinya Blo-on. Hehehe... Nama jawa dari diskotik, Bar, klub malam atau semacamnya yang menyediakan maysirun", Jawab Mas Guru.

"Kok mau ya, jadi blo-on?" sela kang Cutik

"Tapi kalau gadis mau masuk katanya gratis ya, Mas?" tanya Lek Jo.

"Iyo tho, Lek? sudah pernah, ya?" Tanya Kang Cutik.

hahaha..

"Mungkin bener juga kalau perempuan itu perhiasan? Untuk menarik pengunjung perempuaan bias jadi umpan dan ia digratiskan" Kang Ahmad tiba-tiba ikut urun rembug.

"Tapi ini jelas merugikan kaum hawa? Apalagi perempuan yang mau masuk, berarti menggadaikan harga diri dan mereka dilecehkan secara tidak langsung," lanjut Kang Ahmad.

"Huss serius banget... Biarlah urusan harga diri perempuan. Mereka mau jaga atau tidak, silahkan. Kang Cutik, lanjut cerita tadi saja. Ceritakan sowan sampean tadi?" Lanjut Lek Jo.

Semua di warung itu menoleh ke Kang Cutik. Seakan menanti jawab dan kata-kata kang Cutik selanjutnya.

"Waduh, kalau tepatnya secara perinci aku kurang ingat, Lek," kata kang Cutik.

"Intinya saja nggak apa-apa, Kang!" pinta kang Udin.

"Aku tadi juga telat dan masuk ke ndalem belakangan setelah para tamu itu. Dan hanya Dua yang aku ingat: itu tadi tentang dunia dan penjara. dan yang satunya tentang apa yang sebenarnya dicari dalam hidup," sambung Kang Cutik.

"Gimana, Kang?" desak Kang Ahmad

"Yang dicari orang hidup itu ketenangan," kang Cutik berkata meniru apa yang tadi didengar dari dawuhe Kiai Sholeh.

"Terus..."

"Lha, ini yang kadang membuat orang kebelinger. Menurut pandangan umum yang menenangkan adalah adanya perkara yang dapat membantu kelangsungan hidup secara langsung. Misal, di zaman sekarang ini seperti uang. Orang kalau punya uang atau katakanlah kekayaan materi, dia akan merasa tenang sebab semua bisa terpenuhi. Mau ini bisa, mau itu juga bisa. Bahkan di penjara pun enak?" lanjut Kang Cutik.

"Iya, Kang. Semua bisa dibeli?" sahut Mas Guru Anam.

"Tapi apa juga itu yang sebenernya dicari di dunia? Uang. Harta. Kekayaan" Tanya balik Kang Ahmad

"Wheess... aku nggak ikut-ikutan kalau ngomong tentang itu. Enaknya jadi orang kaya, aku sendiri juga belum pernah. Coba, siapa di antara kalian yang sudah pernah kaya?" Sambung Kang Udin.

hehehe..

"Iya nggak gitu, Kang. Minimal kan tahu gelagat orang kaya itu. Tetanggaku di kampung tiap malam tidak bisa tidur, sebab mobil-mobil angkot miliknya ada yang belum pulang. Dia selalu menunggu mobil-mobilnya yang belum pulang itu," kata Kang Ahmad.

"Itu sebagian dari kerja keras, Kang. Kalau mau kaya harus kerja keras"

"Tapi ya nggak ketungkul dan yang penting nggak terlalu. Sudah ada kaidahnya, apa-apa itu kalau terlalu bisa memabukkan. Termasuk uang, harta, kekayaan"

"Oalah, Kang-kang. Lha wong belum pernah kaya ae kok pada bingung? Ngayal sendiri-sendiri" ejek Lek Jo.

hehehe...

"Lha, Kang Cutik. Sampean sendiri sowan ke Mbah Kiai ada apa?" tanya Kang Ahmad.

"Minta nasehat biar cepet kaya?" jawab Kang Cutik.

Orang-orang di Warung itu sudah mulai tersenyum mendengar jawab Kang Cutik.

"Hayah... apa nggak keterlaluan. Hehehe... Dinasehati apa sama beliau?" Lanjut Lek Jo.

"Lumayan, aku dibalas senyum sama beliau dan untungnya pejabat-pejabat itu sudah pulang, kalau tidak mungkin aku sudah ditertawakan," kata kang Cutik tanpa beban.

hahaha... Orang-orang di dalam warung gaduh dan ramai sendiri menertawakan perihal kesowanan kang Cutik dan mereka kurang memperhatikan kata-kata Kang Cutik selanjutnya.

"Gini, singkat Beliau dawuh, kalau pingin kaya itu harus ada; niat baik, telaten-kerja keras, dan Yakin. Lalu amalkanlah doa ini, Allahummaj'aliddunya tahta aidiina, wala taj'alha fi qulu bina..."

Mendadak kang santri-kang santri itu terdiam, mau memperhatikan doa yang dilafalkan Kang Cutik tapi sudah terlanjur selesai dibaca.

Kang Udin kemudian meminta kepada Kang Cutik, "Iiiittt, yang doa diulang, Kang? Aku juga mau ngamalkan?

"Maaf, siaran langsung. Nggak bisa diulang," jawab kang Cutik enteng.


Lirboyo, 012010
nb: Allahummaj'aliddunya tahta aidiina, wala taj'alha fi qulu bina... artinya Duh Gusti, taruhlah dunia ini dalam genggam telapak tangan kami dan jangan Engkau letakkan di dalam hati kami.

Share:

0 comments:

Post a Comment