Hari-hari berlalu meninggalkan ruang-ruang. Semakin ke depan, ruang di detik yang lalu semakin terlihat kuno, kolot, dan jumut. Semakin jauh tertinggal oleh waktu yang keburu-buru seperti seorang akan menuju kamar kecil. Ah, setelah selesai dan keluar dari kamar kecil, orang itu dengan santai melenggang. Dan ini gambaran waktu dan ruang yang hanya meninggalkan kenang.
Masih di bilangan pertigaan utara pondok pesantren, lapangan bola yang berada di sebelah barat pertigaan, sepi. Hanya kambing-kambing milik Kiai Sholeh yang dengan lezatnya menikmati rizqi dari Tuhan. Padahal hanya rumput? Kang Tuplik yang duduk di bawah Randu dengan hikmat mendendang merdu nadlom Jauharul Maknun sembari menunggui kambing-kambing yang sedang berbahagia itu.
Tak jauh dari lapangan bola, di Warung kopi Lek Jo, tukang becak-tukang becak sedang berkumpul sambil menikmati Kousujah (kopi+susu+jahe), minuman khas Warung Kopi Ngeh (Wakoping).
Sedangkan di dipan depan warung, bawah pohon cempedak, dua orang bergumul dengan pikirannya."Skak mat," sembari mengeser biduk Ster, Kang Amir setengah teriak memecahkan keheningan.
"Ha ha ha ha hah, kalah lagi kau. Sudah berapa ronde kita bermain, He?" lanjut Amir dengan tersenyum dan tawa bangga.
"Dah, ah. Ku kemasi caturnya. Kalah terus," keluh kang Dirro.
"He he he he. Biasalah kalah menang, Tuu. Tapi yang kalah biasanya ga bisa bikin sejarah. Ya, kan?" ejek Amir.
Mereka berdua kemudian menuju ke dalam warung. Di sana kang Udin sedang menikmati Kausujah dan menonton TV sendirian.
"Lek Jo kemana, Din? kok sendirian nonton tivinya," tanya Amir
"Ga tau, tadi pamit mau ke pasar Kertanegara, katanya belanja"
"Lah yang ngejaga sini siapa?"
"Halah biasanya ambil sendiri, kalau gak da orang. Penting kan bayar gak nguntet."
"Tu ada pembeli datang, kamu yang melayani, ya! Din!"
Dari arah depan warung datang seorang dengan baju putih, bercelana putih dan bersepatu fantofel. orang itu nampak necis sendiri dibanding ketiga orang-orang yang sudah ada di dalam warung.
"Assalamu'alaikum," salam ramah seorang yang tampak perlente itu.
"Wa'alaikum salam." Kompak mereka jawab salam itu.
"Kopinya satu, Mas" pinta orang yang tampak tersenyum ramah.
Udin kemudian membuatkan kopi itu karena Lek Bejo tidak sedang di Warung. Anak-anak becak-an sangat akrab dengan Lek Jo sampai-sampai mereka rela membantu kalau Lek Jo sedang tidak diwarung.
"Berita sekarang lagi ramai apa, mas?" tanya orang asing, kalem seakan mengedepankan penampilan bicara penuh pesona.
TV di warung itu memang sedang menyiarkan berita. Orang-orang menyimaknya.
"Berita korupsi, bos," jawab Dirro sok akrab.
Orang asing itu hanya tersenyum, ia kemudian berkata, "Korupsi di Indonesia sulit dihilangkan. Mungkin Anda di sini kurang begitu paham sepak terjang mereka; para koruptor. Kalau boleh saya ibaratkan koruptor itu tak lebih dari orang gila."
"Kok bisa begitu, Mas" sela Amir.
"Orang gila itu tak membutuhkan apa-apa, tapi dia sudah merasa berkecukupan untuk mendapatkan hal-hal seadanya."
"Lalu samanya di mana?" eyel Dirro.
"Bentar aku teruskan," jawab enteng orang asing itu sambil menyedu kopinya.
"Orang yang paling kaya adalah orang gila. Ini, satu logika kita. Orang gila tidak butuh apa-apa tapi sangat rakus dalam bertingkah karena labil jiwanya. lah kalau koruptor itu orang waras yang labil jiwanya karena tidak malu mengambil hak-hak orang lain. Alasan mereka eman-eman kalau sampai jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab. mendinglah ke tangan jatuh ke tanganku, nanti aku akan sedekahkan ke orang-orang miskin. itu kelah mereka."
"Ooo jadi mana yang lebih dahulu dapat yang kuasa atas uang korupsiaan itu," sela Dirro.
"Bukan hanya itu kadang malah ada semacam "Bagito" bagi andum roto. semua dapat," lanjut orang asing itu.
"Hmm,..." Amir nampak ingin mengucapkan sesuatu, "Tapi aku masih gak ngerti, nih? Koruptor sama dengan orang gila, ya?" tanya bingung Amir sambil garuk-garuk kepala.
"Jangan dipikir serius, Mas. Jadi ingat anu, aku. ee..., anekdot tentang 3 Koruptor." sambil senyum-senyum orang asing itu bercerita, "Begini ceritanya, ketika mereka bercakap tentang uang hasil korupsiaannya koruptor pertama berkata: hasil korupsiku aku bagikan 50 untuk aku, 50 untuk saya sedekahkan. koruptor kedua menyahut: kalau aku cuma ambil 30 persen, yang selebihnya aku infaqkan ke jalan Tuhan."
Setelah mengambil jeda nafas ia lalu melanjutkan, "Yang ketiga ini yang paling baik, koruptor ketiga berkata: kalau aku, aku berikan semua uang itu kepada Tuhan. Caranya, aku bawa uang itu ke tanah lapang atau ke pekarangan dan sambil berteriak "ini bagianMu Tuhan, ambil semua!" aku lemparkan uangnya ke udara dan dan aku hanya memunguti sisa-sisanya yang jatuh ke tanah"
Orang asing itu terus terpingkal-pingkal sendiri. Tertawa tak henti-henti, sampai gak ngerasa airmatanya berlinang. Perutnya dipegangi terus.
Melihat keadaan seperti itu antara kang Dirro, kang Udin dan kang Amir hanya saling pandang, saling tatap dan bengong nggak ngerti apa yang diketawakan orang asing itu.
Orang asing itu tiba-tiba berdiri dan sipat kuping lari terbirit. Nggak tahu kenapa? Dia seperti ketakutan melihat orang-orang yang berpakaian sama seperti dengannya datang. Melihat hal itu rombongan orang-orang itu kemudian mengejar orang asing yang baru saja lari.
Lek Jo yang ketepatan ikut mengiringi rombongan datang itu, tidak ikut mengejar. Dia kembali ke warungnya.
"Dia belum bayar, Lek. Kok malah lari, gak dikejar to?" keluh Udin.
"Gak apa-apa aku maklum kalau sama dia," jawab Lek Jo.
"Lho kok, itu rombongan sapa Mbah?" tanya Amir
"Itu tadi rombongan perawat yang mau menangkap pasien RSJ yang pada kabur. Termasuk orang asing yang lari itu, " jawab jelas Lek Jo.
"O, Pantes..."
__________________________________________
---------
091208
cerita untuk para koruptor
0 comments:
Post a Comment