"Heeeeh!!!," Lek Jo membuyarkan pandangan menerawang kang Dirro.
"Kapan kamu nikah," lanjut Lek Jo menggoda kang Dirro, santri yang telah usur untuk pasangan nikah ideal.
"Aalaaaah, Mbah...Dirro iku ga doyan cewek, Lek," Kang Sastro menimpali kata.
cerah sore itu membaur dengan nuansa kebersamaan di Wakoping (Warung kopi ngeh) milik Mbah Jo. Tampak mas Guru Slamet dan Makde Kariba sedang asik main catur di dipan, bawah pohon cempedak, depan warung. Di dalam warung Kang Sastro, kang Tuplik dan Kang Dirro nonton berita televisi.
Namun, Dirro malah melamun menatap karyawati-karyawati pabrik rokok yang sore itu memang sedang ramai-ramainya pulang kerja.
"Iyo, betul begitu, Ro?" tanya Lek Jo.
"Tidak, Lek."
"Tidak, gimana? Lah sekarang saja kamu belum nikah-nikah," hina Tuplik
"Tidak tega aku melihat perempuan-perempuan sekarang," tiba-tiba jawab Dirro dengan wajah serius.
"Apa memang sudah zamannya, ya sekarang; wanita itu dieksploitasi" lanjut Dirro.
"Ya, enggak. Wanita tetap dalam tatanan Eksperimen," Sastro enteng menanggapi.
"Kok bisa, Tro," Tuplik meminta penjelasan.
"Lah orang menikah itu kan Eksperimen, sama-sama bukan siapa-siapa, lalu jadi satu dan berkembang jadi banyak," jawab sastro.
"Maksudnya dari tidak kenal jadi kenal dan punya anak banyak, gitu Tro" tegas Lek Jo.
"Iyo, Lek"
"Bukan itu yang aku maksudkan. Eksploitasi di sini dilihat dari segi komediti"
"Apa iku komediti," tanya Tuplik.
"Eh, salah to? Maksudnya yang seperti di Hadis itu lo; 'ad dunya mata'un wa khoiru mata' mar'atushsholihah'. Lah, zaman sekarang kan juga jadinya seperti itu?" Dirro membela diri.
"Produk apa yang sekarang yang dalam iklannya ga ada wanitanya? Wis to apa coba." Tanya Dirro balik.
suasana mendadak hening, diam sendiri-sendiri merenungkan apa yang diucapkan Dirro.
"Swimpack ada, ya. Rokok, ada. Motor, ada. Apa, ya?" Tuplik menyela.
"Di sini merupakan satu bukti bahwa wanita itu disamakan dengan barang. Tapi yang paling berharga karena dapat mengundang jiwa-jiwa. Bener juga Hadis itu?" lanjut Dirro.
"Ga, terima aku. Aku juga punya ibu, punya Mbak Yu, punya Adik perempuan juga. Kau katakan wanita itu disamakan dengan barang yang mudah dieksploitasi?" eyel Sastro.
"Tapi.. ya ada benarnya, Tro. Film-film bokep banyak tuh sebagai penikmatnya adalah pria. Itu bukti lagi eksploitasi wanita," bela Tuplik.
"kok ya mau ya? disuruh telanjang di depan orang banyak?" lanjut Tuplik.
"Sudah zamannya. Orang-orang tua sekarang kan bisanya cuma menasehati; kalau main jangan di tengah jalan, sana loh minggir di tempat-tempat sepi," Lek Jo nimbrung jawaban.
"Main apa, Mbah?"
"hahahahhaaha" gerrrr tawa renyah terkembang di bibir-bibir orang-orang pinggiran ini.
tawa ini cairkan suasana. Sementara itu Makde Kariba dan Mas Guru Slamet telah merampungkan tiga ronde catur, mereka berdua bergegas mengembalikan gelas ke dalam warung dan membayar.
"Canda apa, toh? Kok kayak krupuk; renyah" tanya Makde Kariba.
"Itu, De. Mbah Jo. Ga, nyambung," jawab Sastro.
"Ga Nyambung pie? Zaman sekarang kan gitu, senggama, bikin anak, itu sudah menjadi satu hal yang tidak serius. Mereka buka-bukaan rahasia ke khalayak umum. Atas nama cinta dan keisengan belaka? Mereka sama-sama ga sadar telah dijebak dan dieksploitasi. Hanya atas nama cinta dan kasih sayang, ditipu habis-habisan dengan ancaman diputus oleh kekasihnya," lanjut Lek Jo.
"Benar juga kata-kata itu; cinta kerap dijadikan alat untuk membutakan logika," sambung Makde kariba.
"Yo, bener ku, Lek Jo. Hubungan seks yang dilakukan berdasarkan suka sama suka di antara pelakunya bukan lagi merupakan dosa,” Sela Mas Guru Slamet.
hahahhahaahhahahaha tawa meledak dantara mereka.
"Pandangan anak-anak muda sekarang kayak gitu, Lek? Apa sudah ga menyimpang, ya? Eeh..yang menarik lagi, tinjauan orang-orang ni; bersenggama itu karena kesehatan bukan karena keturunan. Maksudnya orang ngeseks itu boleh-boleh saja asal pakai kondom. Itu yang aku tangkap dari iklan-iklan kondom," lanjut Mas Guru Slamet.
"hahahahaha."
"Gitu, Tro. Susah sekarang itu cari perawan," ejek Dirro.
"Pantesan saja, ga nikah-nikah," sahut Tumplik sambil melirik Kang Dirro.
"Mungkin belum saatnya, Ro. Sabar...," Lek Jo ngedem-ngedemi.
"Mbah, tadi kousujah (kopi+susu+jahe) dua, pisang goreng tiga, terus kamu makan apa De? sekalian saja" kata Mas Guru Slamet.
"Dah Mas, Pegawai negri kan miskin, gajinya kecil. Aku bayar sendiri saja?" jawab Makde Kariba.
"Yau dah. eh kang-kang santri," panggil Mas Guru pada ketiga santri yang lagi asyik ngeh kousujah sambil nonton televisi.
"Bener tu kata Lek Jo. Sejak dulu, Nge-seks itu kebutuhan primer cuma sekarang ini berbelok arah. Dari yang asalnya sebagai reproduksi tuk dapat keturunan, sekarang hanya sekedar mencari kesenangan belaka. Masalah amanah dari Tuhan sudah ga berlaku. Seks manjadi komoditi dan konsumtif, begitu juga si perempuan yang mau saja dijadikan pramusyahwat," kata Mas Guru Slamet.
"Ni.. Mbah. Uangnya pas kan? Aku pareng dulu. Wassalamu'alaikum," pamit Mas Guru Slame.
"Ngomong opo iku, komoditi dan konsumtif. Ga paham, aku?" bisik Tuplik ke Dirro.
"intlek, Plik!!!!"
0 comments:
Post a Comment