Pertigaan utara pondok pesantren, lenggang. Seperti biasanya, sore itu jalan antar kecamatan terbujur kaku dan hanya sesekali dilintasi kendaraan. Maklum, wilayah di selatan lapangan bola itu, ada pondok pesantren besar, tapi santri-santrinya tidak diperbolehkan keluar demi peningkatan kualitas, dengan lebih menekuni materi keagamaan yang diberikan oleh Kiai. Dan memang di sini adalah daerah pinggiran kota yang sepi akan aktifitas kesibukan umumnya masyarakat.
Di timur pertigaan ada kedai berbentuk gubuk di atas kanal kecil, aliran irigrasi. Di sana tempat mangkal tukang becak yang kebanyakan anak-anak santri (ndalem), bakul dan kuli pasar atau kadang guru-guru sekolahan yang mereka semua penggemar catur.
Mereka biasa duduk-duduk sekedar main catur atau ngobrol ngalor ngidul mengomentari berita terhangat, nyantai sambil menikmati Kousujah (kopi+susu+jahe) dari kedai milik Lek Jo ini.
"Mbah, kok sepi? Teman-teman becak-an, kemana?" tanya kang Dirro, anak ndalem Kiai Soleh bagian mengembala kambing pada Mbah Jo, dipanggilan akrab Lek Jo.
"Entah, Kang. Sejak tadi pagi kayak gini, cuma nonton tivi terus."
"Sabar, Mbah. Untung ada tivi kalau tidak ada, kan jadi tambah anak lagi?" Canda kang Dirro pada Lek Jo.
"Huss...coba besok kalau kamu dah kawin" jawab Lek Jo.
"Ni, remotnya. Kamu minum apa?" lanjut Lek Jo memberikan remot televisi yang biasa di tonton bersama sembari menawarkan minuman.
"Kausujah, . Nonton berita saja, Ya?" pinta kang Dirro.
"Seru, Lek. Banyak bencana?" lanjut kang Dirro.
"Bencana kok digemari," timbal Lek Jo.
"eh... tu Takir datang!" kabar Lek Jo yang melihat Takir datang mengayuh becak. Setelah memarkir becak di bawah pohon cempedak depan gubuk.
Setengah berteriak Takir memesan minuman, "Es tehnya, Lek." Takir kemudian masuk kedai sambil berkata, "eh..., kang Dirro, dah tadi? Nonton apa?"
"Berita? Dari tahun ke tahun, bencana tambah dan tambah. Dari sabang sampai Merauke ada semua. Pokoknya komplit; darat, laut, dan udara ada semua. Yang agak besar disebut bencana negara. Mungkin nggak, ya? Besok ada bencana diswastakan?" kelakar kang Dirro
"Ah, bisa saja. Kalau saya sregnya, kok bencana-bencana negara itu sudah pada tempatnya dan tepat menjadikan negara kita sebagai Negara Bencana," balas kang Tuplik enteng.
sambil melirik wajah Kang Tuplik yang agak dingin menanggapi masalah, kang Dirro berujar, "Lha, klo kelaparan jamaah haji di tanah suci, itu bencana juga, tho?"
"tergantung yang menanggapi. Maksudnya dari dibesar-besarkan berita itu, inginya menakut-nakuti orang yang ingin pergi berhaji di tahun mendatang atau skenario untuk depag dibubarkan?" kalau aku tidak mau dua-duanya?" jawab kang Dirro menyisakan tanda tanya.
"Wah...wah...wah, kayaknya kok rame, ngobrol apa tho, Kang?" Timpal mas Joko, Guru Honorer yang datang tiba-tiba, sembari masuk kedai.
"Ini lho, Mas. Bencana Negara inginya kami swastakan saja," kata kang Dirro.
"Bukan, itu. Kita tetapkan negara kita jadi Negara Bencara! timpal Tuplik.
"Ngelantur saja, ngawur itu, asal ngomong!" sela Lek Jo yang dari tadi hanya mendengarkan gojlok canda Kang-kang.
"ha...ha...ha..." tawa renyah memecah
Mas joko memesan minuman, "Kausujah satu, De!"
Sembari menonton kelaparan jamaah haji mas Joko ikut urun rembug,
"Oh itu, tho? Di sana mereka berebut makanan? Wah, pas itu, menggambarkan orang Indonesia dan seperti adanya orang Indonesia di sini. Selalu berebut makanan. Korupsi kan merejalela?"
"Saya juga heran, kenapa orang dulu sangat berharap bisa meninggal waktu pergi haji, tapi orang sekarang kok malah pada takut, ya? Malah-malah minta ganti rugi segala," timpal Lek Jo.
"Bukan cuma itu, Mbah.Depag dituntut men-swastakan penanganan haji! Itu beritanya!" kata kang Tuplik.
"lho, kok gitu? Terus kerja depag besok apa, ya? Lama-lama Depag bisa dibubarkannkarena nggak punya kerjaan. Dan bisa-bisa Indonesia jadi sekuler. Wah, hebat kayak Amerika!" Sahut kang Dirro.
"Nggak gitu, Tro. itu...," kata kang Dirro menunjuk TV, "Sekarang saja, baru pindah katering sudah geger. Apa jadinya kalau pindah swasta? Bisa jadi perang saudara. Lucu orang Indonesia itu, punya satu nggak dirumat, punya dua berantem." Lek Jo.
Tiba-tiba mas Joko mengalihkan mengalihkan pembicaraan. "Eh, sudah tahu belum, tentang mengapa bencana-bencana itu beruntun ke Indonesia dan selalu memakan banyak korban?"
"Ya, memang sudah dipastikan begitu," sahut Lek Jo.
"Bukan itu maksudnya, Mbah. Ini adalah cobaan atau azab?" kata kang Sastro tak terima.
"Maksud mas Joko sendiri apa?" tanya kang Dirro.
"Gini, Kata orang-orang; memamg para korban itu dibuat korban oelh penguasa"
"Maksudnya, Mas? Mereka dijadikan tumbal, gitu" timpal kang Tuplik.
"Kurang lebih begitu, jadi tumbal demi langgengnya kekuasaan," jawab Mas Joko serius
"Benar juga, mas. Tsunami, Gempa Jogja, Lumpur Sidoarjo, Situ Gintung? Belum yang lain-lain kayak; KM. Senopati, Adam Air, Herkules Magetan" kang Dirro membenarkan.
"ck ck ck ck, kalau benar begitu, wah kejam, ya?" sahut Kang Tuplik
"Eh...eh...Mistik lagi. Klenik lagi. Yang lain Tho, Mas. Kapan Indonesia maju kalau bau kemenyan terus. Bencana itu kan datangnya dari Tuhan. Jadi kayak bencana itu cermin bagi diri kita. Apa kita benar-benar bersalah pada Tuhan? atau memang Tuhan sangat mencintai kita hingga kita salah sedikitnya saja sudah ditegur, ya dengan bencana-bencana itu?" tandas Lek Jo, sareh.
"Ya, nggak gitu, Mbah. Opini yang berkembang di Masyarakt memang begitu," bela Mas Joko.
"Iya, De" Kalau saja jadi unggas pun saya nggak terima. Dibantai, dimusnahkan," sahut Kang Tuplik.
Kang Dirro menyela. "lho, itu kan pas? betul itu demonya burung dengan flu burung. bahkan menyewa nyamuk untuk demo anarki menyebarkan demam berdarah dan flu Babi yang mengancam."
"Maksudnya?" tanya Kang Tuplik.
"Lha, wong ayam untuk dimakan kok malah disabung. Merpati ingin bebas, kok diadu terbang. Burung ingin terbang bebas, malah ditaruh sangkar? Babi nggak boleh dikonsumsi, pada dimakan saja" jawab Kang Dirro
"Ah, yang begitu kok dipelihara. Berkacalah! Ngilo o!! Maksiat kita sudah banyak dan terang terangan pula. kau liat alam sekitar, terlalu sering kita menyakiti. jadinya alam nggak terima, nggak mau bersahabat, jadi banyak bencana." timpal Lek Jo.
"Wah kayak lagunya Ebiet, Mbah?" sela kang Tuplik.
"Huss, Yang diperlukan sekarang ini apa? Untuk mengerem datangnya Bencana Negara lagi atau menghilangkan kesan Indonesia sebagai Negara Bencana itu apa?"
Tiba-tiba kang Tuplik sedikit berteriak memecah keheningan suasana berpikir mereka,
"Eh, itu! Ro! Kambingmu jatuh ke irigasi. Hanyut, Ro!" sambil menujuk kearah kambing.
Sipat kuping, Kang Dirro berdiri dan keluar kedai,
"Waduh, Bencana iki. Lek Jo bayarnya nanti, Ya!"
sembari berlari kang Dirro berpamitan untuk menyelamatkan kambing.
"Kamu, Ro...Dirro. Sedang gembala kambing, kok di tinggal cangkruk. Ya, gini jadinya," Kata Mas Joko. tertawa terkekeh...
Kemudian Mas Joko pun pamitan, Disusul Kang Dirro yang juga mau mandi.
_______
Sebuah cerita mengenang bertubinya Bencana yang menimpa Indonesia
Pernah diterbitkan di Majalah Misykat Edisi 32 th 2007 (ini sedikit diedit)
0 comments:
Post a Comment