Siang cerah. Langit tampak mulus biru tanpa gumpalan awan. Layang
layang terbang, ada yang beradu benang, saling serang; kawan jadi lawan.
sedetik kemudian layanglayang berputus dari benang, menjerbak terbawa
tiupan angin. Si kecil berlari-lari berlomba mengejar layanglayang yang
putus. Ada kepuasan tersendiri mendapat layanglayang terputus dari
benang, daripada beli dipasar. Dibenak mereka berebut menunjukkan
keberanian, ketangkasan, kecerdikan, dan kemenangan.
Sementara
dunia anak sibuk akan keceriannya, di warung kopi Ngeh milik Lek Jo,
sembari ngopi orang-orang sibuk berkomentar seputar kehidupan.
"ckckckc...."
"Aneh, tren akhir-akhir ini? pingin terkenal pada nekad? Kenapa ya?"
tiba-tiba pertanyaan Lek Jo menyeruak meninggalkan ngiang telinga dan
seakan menarik kepala orang-orang yang sedang khusuk menyimak berita TV.
"Mungkin, tafsiran tentang orang sakti sekarang ini telah berubah," sanggah kang Cuthik enteng.
"Lho, kok sakti?" sambung Mas Joko menanyakan hal yang tidak nyambung itu.
Tanpa memandang kang Cuthik menjawab, "Ya, begitulah orang sakti itu
zaman dulu, dipandang lebih. Kan ini sama dengan yang sekarang, orang
terkenal itu akan dipandang lebih?"
"hehehehehe"
Canda ringan kang Cuthik garing.
"Kayak bocah-bocah yang berebut layanglayang itu, yang berani, tangkas,
cerdik akan menang. Itu namanya sakti," lanjut Cuthik, orang yang
perawakannya bukan hanya kurus tapi kerempeng, antara tulang dan kulit
tampak tak bersekat.
"Lha, sekarang orang sakti sudah tidak ada, yang ada orang orang sakit. Beda tipis, ya?" balas kang Dirro.
"He, kalau omong yang nggenah, jangan sembarangan, asal saja. Terakhir kali kau ngomong banyak orang jadi sakit," sahut Lek Jo.
"hehehehe"
"Sakti mungkin, bukan sakit, Lek?" timpal kang Cuthik.
"Bener, lho? Kalau mau terkenal panjat tower itu, lalu pura-pura mau
bunuh diri. Tapi purapura saja jangan serius. Nanti para wartawan kan
tahu, lalu meliputmu dan terkenal jadinya,"usul Mas Joko.
"Masuk Tipi."
"Orang sekarang memang begitu ya sudah masuk tv pasti dianggap terkenal?" tanya kang Dirro.
"Kemaruk mereka itu, ya?" kata Makde Kariba yang sejak tadi diam menyimak percakapan.
"Kok mereka, kita mungkin juga gitu?" kang Cuthik menyanggah
"hehehe" gggggrrrrrrrr "hahahaha"
"Pikiran kita kok segitu, ya? Masuk tv pasti terkenal," ucap Mas Joko.
"Lho, bisa gagah-gagahan bila melakukan hal yang aneh. Coba simak
perkembangan belakang ini, sekarang filmfilm bokep sudah biasa, yang
lagi terkenal sekarang filmfilm aborsi. Itukan aneh jadi terkenal, deh?"
ujar kang cuthik.
"hehehehe"
"Seseorang yang berkeyakinan lebih mungkin juga akan merasa benar," sela kang Dirro.
"Ini pasti tentang aliran sesat?" timpal kang Cuthik.
"Yeee, tau aja, satu pertanyaan sulit, yang perlu dijawab? siapa yang
menganggap sesat, jika seandainya yang dianggap sesat itu adalah
mayoritas, apa tidak mungkin yang mayoritas itu dianggap sesat? Tentunya
oleh yang minoritas?" tanya kang Dirro.
"Mbulet katakatamu?" tolak kang Cuthik.
"Memang butuh penafsiran yang bukan orang biasa yang tidak dapat mencerna?" balas kang Dirro.
"Ah, ga mau ngomong aku sama orang sakit?"
"Hee orang sakti, bukan sakit! Yo, begitulah orang"
"Ya ya orang terkenal..."
"terkenal apa?"
"terkenal sakit."
"Udah udah, orang terkenal itu sakti tapi sakit. Sakit kehidupan pribadinya yang selalu terexpose," lerai Mas Joko.
"Apa, mas? Expose, makanan apalagi itu?" tanya kang Cuthik, bukan mengejek tapi bener-bener tidak tahu.
"Udah, ah diam! itu dah mulai beritanya," Lek Jo menengahi.
Mereka kemudian khusuk menyimak berita, yang melebihi kekhusukan saat
khuthbah jum'at. Dan begitulah obrolan-obrolan mereka mengambang nan
menelanjangi kepolosan.
Riuh di luar warung, anak-anak kecil berebut layanglayang yang terputus benangnya.
------
2009
dugdeng = sakti
dibuat saat rame2nya film aborsi
0 comments:
Post a Comment