jaah





"Tapi bagaimanapun, nantinya kamu juga akan mengerti dan memahami, bahwa hidup itu butuh eksistensi. Namun jangan sekali-kali kamu artikan dan kamu tafsiri bahwa eksistensi itu adalah suatu keber-ada-an dalam fasilitas ke-benda-an. Dan lagi, jangan eksistensi itu dimaknai sebagai suatu kehormatan saja. Wah,... Kalau sesuatu diukur dengan hanya karena kedua hal itu, bisa-bisa tidak ada ketulusan lagi...," Begitu kata Mas Gatot, guru muda, usia 30-an, seorang mantan aktifis pergerakan mahasiswa, yang sekarang lebih banyak mengaji dan belajar kitab kuning.

***
Secara tidak langsung obrolan orang-orang yang berada di Kedai Lek Jo sore itu, menyoroti tentang sikap seorang pemimpin. Dan jika boleh dikata, bahwa sesungguhnya setiap orang itu adalah pemimpin bagi diri sendiri, juga bagi lingkungan sekitar guna membina hubangan yang baik dan demi kelangsungan kehidupan manusia dalam kebermasyarakatannya.

Bagi aku, sah-sah saja mereka obrolkan itu dan sore itu aku menyimak obrolan sembari menonton berita-berita di televisi tentang korupsi yang begitu mudahnya dipraktekkan.

"Antara pemimpin dan pemimpi itu nggak ada bedanya. sama-sama berharap dan merencanakan perubahan dari apa yang mereka mau. Tapi nantinya seorang pemimpin akan menjadi beda dari seorang pemimpi bila melaksanakan apa apa dari yang direncanakannya?" ucap Gus Irul, sewaktu mengomentari berita tentang kacaunya pemerintahan.

"Nggak ada beda, Gus? Seperti halnya pembohongan publik atau itu disebut kegagalan memimpin atas kuasa kepemimpinannya, tentunya itu tergantung siapa yang memandang dan dari sisi mana kita berdiri?" Timpal Lek Jo.

"O, tidak bisa, Gus. Kalau pemimpin yang baik itu pasti menepati janji-janjinya. Sedangkan pemimpi itu selalu diselimuti khayalannya untuk bisa bertahan dalam kekusaannya, tentunya ini khayalan saja, hehehe.... Alih-alih mau turun dari jabatan, lha berjuang untuk mendapatkan jabatan saja, begitu sulit?" tanya Kang Maghfur.

"Maksudnya, banyak biayanya?" tanya balik Gus Irul.

"Kalau yang itu sudah bukan rahasia. Kamu toh juga senang tho, Kang. Dapat kaos, jaket, uang pesangon konvoi kampanye. Tapi yang jadi pertanyaan uang siapa itu?" Jawab Lek Jo yang bicaranya diarahkan ke Kang Maghfur.

"Lho, bener itu, Lek? Pemimpin memang seharusnya memberi dan memberi, bukan malah meminta. Tapi sebaiknya setelah menjabat harus lebih banyak memberi," sambung kang Maghfur.

"Hidup orang sekarang memang begitu, selalu mengejar eksistensi dalam hidup. Eksistensi bisa berarti kemapanan hidup berupa harta, jabatan kehormatan tapi bisa juga dimaknai karya. Seperti kredo; 'Eksistensi ada karena sebuah karya,' dan karya tersebut bermacam rupanya, bisa berwujud prestasi, bisa tindakan dan yang pasti adanya adalah berbentuk pencapaian, suatu pencapain entah itu prestasi atau tidak," kata Mas Gatot yang seakan menengahi masalah.

"Dan kegagalan dalam pencapaian, apakah bisa disebut kebohongan? Dan ini tinggal bagaimana seorang mengartikannya?" Gus Irul.

"Maaf, ini jangan ada pro kontra, lho," sela kang Maghfur.

"Tapi bagaimanapun, nantinya kamu juga akan mengerti dan memahami, bahwa hidup itu butuh eksistensi. Namun jangan sekali-kali kamu artikan dan kamu tafsiri bahwa eksistensi itu adalah suatu keber-ada-an dalam fasilitas ke-benda-an. Dan lagi, jangan eksistensi itu dimaknai sebagai suatu kehormatan saja. Wah,... Kalau sesuatu diukur dengan hanya karena kedua hal itu, bisa-bisa tidak ada ketulusan lagi...," jawab mas Gatot.

"Lha, disini letak bedanya antara orang yang memang memburu jabatan dan atau menginginkannya dengan seorang yang harus memberi contoh dan menjadi tauladan. Termasuk harus legowo lengser kalau memang dia kurang cakap,"  lanjut Gus Irul.

"Maksudnya apa, Gus?" Tanya kang Maghfur.

"Apa tho yang dicari seorang pemimpin? Jabatan, kehormatan, harga diri, atau kemaslahatan umat. Mungkin dalam kamus pemikiran saya masalah jabatan atau sebut saja jaah, itu suatu trah yang sudah digariskan. Orang nggak akan jadi pemimpin bila tidak dipilih. Maksud saya ini bukan dipilih oleh rakyat, meski mekanisme logika pemilihannya seakan-akan dipilih oleh rakyat. Tetapi seorang pemimpin itu orang terpilih, dipilih oleh Tuhan dan memang dia digariskan menjadi pemimpin." Jawab Gus Irul.

"Mbulet, Gus. Rumit penjelasannya hehehe...," ledek Lek Jo.

"Gini, Meski jaah itu di mata kita adalah suatu pangkat atau kedudukan, dan jabatan tetapi apa yang ada dibalik itu, Jaah adalah amanah yang diembankan dari Tuhan kepadanya. Maka dari itu istilah, 'seorang itu adalah pemimpin bagi diri sendiri'. Itu benar adanya. Kita masing masing memiliki tanggung jawab untuk diri sendiri. Begitu pula seorang pemimpin, bertanggungjawab penuh atas apa yang dipimpinnya," kata Gus Irul ketus.

"Maka kalau orang-orang sekarang berlomba untuk menjadi pemimpin itu yang dipertanyakan lagi, untuk apa ya?" tanya pura-pura kang Maghfur.

"Ya itu, diberi tanggungjawab lebih," sahut Lek Jo.

"Wah,.. kalau permikirannya seperti itu ya repot, Gus. Nggak ada lagi orang yang mau jadi pemimpin. Mereka saling mengajukan yang lainnya,"  sanggah Mas Gatot.

"Lho itu lebih bagus, daripada berebut kepemimpinan sehingga muncul money politik, tim sukses menebar pesona, praktek suap menyuap, dan yang paling parah setelah itu, kalau dia terpilih dan memimpin demi hanya mengembalikan modal dari dia berkampanye" Jawab Gus Irul.

"Korupsi..."

"Sudah, sudah... itu lihatlah televisi. Ada satu lagi penemuan tindak korupsi yang dilakukan pejabat," kata Lek Jo memotong dan mengalihkan perhatian obrolan supaya mereka yang berada di Kedai itu melihat televisi.

"ckckck... susahnya mencari orang yang tulus untuk mengabdi?" Celetuk Kang Maghfur.

"Sudahlah, Kang. Bisanya cuma ngomong tok, tuh lihat saja televisi dan bobroknya negeri ini!" kata Lek Jo sembari membesarkan volume pengeras suara televisi.

Dan orang-orang di Kedai itu menoleh ke Televisi. Suasana jadi hening. Semua mata terpusat pada televisi yang menyiarkan betapa carut-marutnya bangsa ini. bangsa yang mengalami krisis multidimensi


Diterbitkan Majalah Misykat edisi 66


gambar dari
Share:

0 comments:

Post a Comment