Orang Itu





"Orang pegunungan biasanya suka pergi ke pantai dan orang pesisir biasanya gemar naik gunung," begitu jawab orang itu menerangkan tentang prinsip hidupnya dalam mencari jodoh. Jawaban yang simpel tapi bikin kepala mendidih. "Ah, aku menanak omongan yang tidak sambung," batinku.

Orang-orang yang diajaknya ngobrol di kedai ini pun tampak kelihatan bingung. Hanya mendengarkan dan meng-iya-kan apa yang orang itu omongkan. Sedari tadi aku sudah merasakan kejanggalan tentang itu. Terlihat dari mimik wajah mereka berlima yang duduk di kedai ini, termasuk aku.

"Kang Sholeh, apa tidak baiknya kamu segera ke ladang. Itu lho, ikut membantu temanmu, yang kayaknya sudah kepanasan sejak tadi," Kata lek Jo menyela kepadaku. Sepertinya lek Jo tahu kalau aku sedang mencari cara untuk menghentikan ngobrolanku dengan orang itu.
"Sebentar, Lek," jawabku singkat.

"Jadi gini, Kang. Kalau kamu mencari pekerjaan tentunya sesuaikan dengan apa yang menjadi bidang kamu. Kamu kan santri seharusnya kamu menjadi Kiai atau minimal ustadz kayak di TV itu," lanjut orang itu sambil menatapku.

Lek Jo yang sedari tadi mendengarkan obrolan-obrolan kami kemudian menyahut, "Wah, ya tidak bisa begitu, Mas. Seorang santri harus bisa apa saja. Tidak melulu harus jadi Kiai. Santri harus mampu menjadi apa saja. Kalau menurut aku, santri harus mewarnai kehidupan di segala bidang." Sepertinya Lek Jo sedikit bosan dengan obrolan orang itu yang di mulai dari kiat-kiat mencari jodoh, penerapan gaya hidup sampai bagaimana santri mencari pekerjaan. Nada bicara lek Jo yang agak memberat dan sedikit terdengar mengetar menandakan lain dari bagaimana biasanya lek Jo berbicara. ada apa ini?

"Lho kalau aku lihat, terjadi sedikit kekeliruan dengan adanya kang-kang santri yang sepertinya kurang terima dengan apa yang telah dipelajarinya. Saya bilang keliru lho, Lek. Bukan satu kesalahan." lanjut orang itu menegaskan.

"Mereka bukan keliru, juga bukan salah. Mungkin mereka mencari jatidiri dan masing-masing mereka menempuhnya di jalan masing-masing," balas lek Jo.

Orang itu sedikit membelokkan tubuhnya dengan me-matrap-kan duduknya untuk menghadap padang ke lek Jo dan orang itu berkata, "Maksud saya juga itu, Lek. Ya, kan seharusnya seorang santri itu menjadi Kiai."

"Eh, Mas. Anda tahu toh kalau Kiai itu bukan gelar yang seperti sarjana, doktor, atau profersor dan lain-lainnya. Kata "kiai" disematkan pada nama seseorang, itu berarti orang tersebut telah mengabdi di masyarakat dalam bidang keagamaan. Jadi tidak bisa seenaknya seseorang itu menyandangkan sendiri gelar itu kepada dirinya," tegas Kang Ahmad dan ia melanjutkan, "Seorang anak kiaipun kalau tidak bisa membawa masyarkatnya menuju kebaikan patut dipertaruhkan, apa dia pantas menyandang gelar itu?"

"Wah, saya nggak mau tahu kalau masalah itu, Kang" Jawab orang itu sambil menoleh ke kang Ahmad. "Yang sama pahami selama ini, santri-santri pada lari dari kenyataannya sebagai pelayan umat. Maksud saya, buat apa mondok lama-lama kalau tidak mau memberikan sedikit ilmunya kepada masyarakat sekitar. Saya katakan santri harus menjadi Kiai supaya Kang-kang santri seperti kalian bersemangat untuk berbagi kepada orang-orang seperti saya yang kurang mengajinya. Karena aku lihat, hanya para kiai yang tulus memberikan itu. Tapi yang menjadi pertanyaan saya, Kiai yang bagaimana itu?" Lanjut orang itu.

"Mas, yang sampean ucapkan sepertinya sama dengan omongan kang Ahmad. Cuma, mungkin beda bahasa," sela lek Jo.

"Mungkin begitu, Lek. Saya hanya menggambarkan keadaan yang nyata sekarang ini di luar pesantren. Bolehlah santri berkembang di bidang usaha masing-masing tapi tetap harus mengabdi di bidang keilmuan agama, Eman-eman sing mondok." kata orang itu.

"Namun kalau menurutku, tetap; santri tidak harus jadi Kiai. Karena yang menyandangkan gelar itu bukan diri sendiri tapi orang lain," sambung kang Ahmad

"Aku setuju saja, yang terpenting jangan sampai kiai seperti DPR yang telah berubah bentuk menjadi sebuah profesi alias pekerjaan dan kita lihat 'kan? DPR sekarang ini bukan lagi berupa pengabdian kepada masyarakat," jawab orang itu.

"Ya, sebab kiai bukan pekerjaan tapi pengabdian, " sahut lek Jo.

Orang-orang yang lain di Kedai ini mengangguk, seakan meng-iya-kan apa yang diucapkan lek Jo. Termasuk aku juga. Tapi aku berfikir keras siapa orang itu yang sejak tadi mengobrol denganku. Dan aku hanyut dalam pembicaraan yang mengalir. "Obrolan yang terakhir, apa hubungannya dengan Orang Gunung dan Orang Pantai?," Pikirku. Dan saat aku hendak bertanya:

"Leh, jadi kerja tidak?" teriak kang Utsman di luar kedai mengagetkanku.

"Dari tadi tongkrong di warung, terus kapan kerjanya?"

Ke Diri, Oktober
gambar klik disini
Share:

0 comments:

Post a Comment