Salamku buat seseorang*,
Setalah lama memaham tentang jalan yang tidak jua sampai ke ujung, aku mulai tahu? Bahwa yang melingkar itu indah. Tapi mungkin ini hanya prasangkaku saja (dan semoga aku salah duga?). Sebenarnya, aku tahu kalau engkau memang tahu tentang sesuatu yang terkait dan juga harapan akan itu. (maaf, kayaknya nggak perlu aku sebutkan)
Aku tidak ingin berbelit dalam menuturkan segala permohonan maafku, tapi aku akan sedikit bercerita tentang rembulan yang menjadi saksi. Mungkin bukan saksi bisu, menurutku. Sebab rembulan selalu mendengarku dalam candaku yang sepi. Aku ingat setelah waktu itu, aku sering mengadu kepada rembulan, apalagi di saat purnama. Ya, purnama yang bulat seperti bola matamu. Maaf, aku menyamakan dirimu dengan rembulan yang sebenarnya tidak layak disandingkan dengan dirimu. Karena engkau memang lebih dari rembulan.
Pernah satu waktu aku membawa cermin dan berbilang kepada rembulan di dasar cermin, "Bukankah sama antara aku yang di dasar cermin dengan rembulan itu?" Rembulan sama sekali tak menjawab, tapi juga tidak aku anggap, sebab diamnya rembulan tidak berarti setuju. Aku tahu itu, rembulan pasti takkan menjawab.
Namun aku merasa nyaman di saat rembulan memuncak di bulat purnama karena sesuara itu, ya.. sesuara yang akan terus mengulang, terngiang dalam bentuk sesuara yang telah menjadi file di hati. Sungguh, busuk hatiku menyimpan sesuatu yang bukan milik sendiri. Sekali lagi maafkan aku yang telah berani berkata jujur.
Bukan hanya itu yang aku ingat tentang kisah kita (maaf, mungkin engkau nggak setuju aku sebut ini kisah kita. Tapi tentang sebabnya coba kau bertanya kepada hatimu!) Suatu waktu, betapa kepergiaannya membuat engkau 'setengah tidak terima'. Mungkin kalau engkau bukan 'pilihan' tentunya kau tidak kuat, tapi betapa tegarnya jiwamu, betapa kuat hatimu. Dan sepertinya badai itu hanya bentuk anugrah lain dari Tuhan yang diturunkan untuk menguji kesetiaanmu kepada Tuhan.
Aku masih ingat engkau mengadu tentang dia yang bukan aku. Dan aku coba memahami dia, mencari dan kucoba menemukan bentuknya yang memang beda dengan diriku. Dan dalam bayang samar kutemukan, 'sebentuk' tidak adanya dia dalam diriku.
Sempat aku menggumam, "Kau dan sebut saja dia dalam bentang khayalmu. Dan tentang aku hanyalah 'ketidaktahudirianku' akan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu.' dan kau selalu berdalih, menjawab seakan mengunggulkanku namun hanya menenggelamkan ketidakpedulian, mungkin. Kau berkata menghilah bahwa "Tentang kesempurnaan yang disandarkan kepada aku yang tak sempurna seperti dirinya." dan memang aku belum bisa sempurna seperti dia.
Entah itu basa-basimu atau memang aku yang tidak pernah bisa seperti dirinya? Tapi aku paham kata-katamu, "Kesempurnaan adalah alasan yang dibuat untuk engkau menjauh, sejauh mungkin dari sekedar mimpi, apalagi suatu harap."
Hmm,... sekali lagi aku tidak bisa menyalahkan dirimu. Sebab memang salah ini hanya karena aku.
Aku tahu apa yang tertulis di atas bukan satu-satunya alasan yang mendekam dalam diamku, juga diammu. Jika sesorang mengatakan bahwa "diam adalah emas", itu mungkin ada benarnya. Dan aku rasa bukan masalah kita yang menjadikan semakin rumit dan bukan masalah 'dia' yang sempat kau ceritakan (semoga lekas engkau ikhlas). Dan bukan pula, 'dia' yang coba kau ajukan untukku. Tapi ini lebih kepada masalah yang tak terbaca sebelumnya. begitu tiba-tiba, tak terduga.
Sekali lagi aku tidak menyalahkan siapa-siapa sebab memang ini salah yang keliru. Engkau tentu tahu beda salah dan keliru?
Yang jelas aku selalu menyimpan rapat-rapat dalam almari di hatiku. Tentang ini, tentang dia laki-laki dan tentang dia perempuan (yang sempat kau ajukan), semoga menjadi kisah indah.
semoga engkau membaca?
hormatku,
* Teruntuk yang pernah singgah di singgasana kesombongan hati, "aku takkan mengejar sesuatu yang tak mau dikejar dan aku takkan menanti gebu rindu yang membelenggu, membunuhku. Dan itukah dirimu yang membatu? Bertanyalah kepada hatimu,...
_____________________
Ia hela nafas dalam-dalam dan menghempaskan lagi, perlahan-lahan. Seakan dengan itu bisa menentramkan pikiran dan menenangkan hatinya. Berkali-kali ia baca dan memaham tentang isi surat itu. Ya, sebuah surat yang tak beralamat dan tak bertujuan, tapi ia yakin surat itu untuk dirinya.
Pandangannya menerawang seakan mengingat tentang 'kisah' dalam tanda kutip yang disebutkan di surat. "Hmm, ini tentang dia dan si pembuat surat tapi apa yang diinginkan sebenarnya, mengapa dengan menulis surat ini?" Hatinya bergumam. Ia terlihat gelisah.
***
"Aku nggak ngerti apa yang kau inginkan," ia tampak kesal dan menutup pembicaraan HP begitu saja. Dunia yang semula ramai dan indah seperti di taman bunga-bunga, kini tampak jadi sepi, kering dan gersang.
Lamat-lamat ia mengulang, apa yang dibicarakan dengan seseorang tadi. Ditelannya kenangan-kenangan yang semula seakan pasti akan menjadi miliknya.
"Mengapa harus aku?" berkali-kali batinnya menjerit, menerka ketidakadilan Tuhan yang harus ia hadapi sendiri.
"Ada apa denganmu?"
sontak ia kaget, sewaktu bercermin, tiba-tiba sesuara itu terdengar.
"Apakah kau tidak cantik? Apa yang kurang darimu? Kau perempuan yang hebat dan kau dapat meraih itu semua. Tentang dia mengapa kau harus risau? bukankah pernah kau bilang, bila memang berjodoh tidaklah akan lari kemana," lanjut suara itu.
"Tapi mengapa harus aku?"
"Bukankah kau telah membaca surat itu. Benar apa yang dikatakan dia, si pembuat surat; 'Mungkin kalau engkau bukan 'pilihan' tentunya kau tidak kuat, tapi betapa tegar jiwamu, betapa kuat hatimu. Dan sepertinya badai itu hanya bentuk anugrah lain dari Tuhan yang diturunkan untuk menguji kesetiaanmu kepada Tuhan."
"Ah,.. tentang si pembuat surat, apa yang dia tahu tentang aku dan kisah laluku"
Sesuara itu diam. Sesuara yang sesungguhnya adalah pertentangan batinnya sendiri yang bimbang dan dia harus hadapi kenyataan yang begitu tiba-tiba, tak terduga dari yang direncanakan.
"Aku nggak menyesal mengenal dia dan dia," ia berkata sendiri.
***
Berkali-kali ia membaca surat itu dan mencoba membalasnya. Satu kata, dua kata ia coba tuliskan di layar putih monitor, lalu ia hapus lagi dan ia buat lagi dan hapus lagi. Begitu ia lakukan berulang-ulang. Ia mengulang semua kejadian yang terekam dibenak. Meruntut satu persatu peristiwa dan suasana yang begitu tak terduga.
Semula yang berjalan tampak indah dan begitu mempesona ternyata harus diikhlaskan begitu saja. Beransur kisah itu berbalik arah dan menjerat ketidakjelasan hidup.
"Yang nggak jelas itu siapa? Mengapa engkau harus risau. Berpikir yang pasti-pasti saja dan jangan salah duga yang nggak-nggak." batinnya menggerutu.
"Kenapa pula kadang kau ikut campur? ini urusanku dengan dia," batinnya kesal dan menghapus lagi catatan yang ia buat untuk membalas surat itu.
"Kau tentunya tahu kalau ternyata hati ini bukan memilihmu dan bukan milikmu" dia agak kesal dengan permainan kata-kata diotaknya. Dan ia menggumam, "Salah siapa kau berani berkata jujur kalau ternyata aku tidak memilihmu, kau mau bilang apa?"
Ia kembali tercenung, merenungkan apa yang baru saja ia ucapkan. Dan dalam pikirannya kembali berkata, "Tapi benar juga, dia yang begitu rela mau berkata kepada orang yang aku cintai, mau minta izin kepadanya untuk mendekat kepadaku. Ah,.. tapi kalau aku nggak mau apa yang dia mau. Memaksaku, menyeret aku ke dia. haaaccchhhh"
"Ya, aku tahu karena memang semua milik-Nya," sesuara itu kembali menyahut dan sesuara yang agak memberat melanjutkan kata, "Jika memang ini karena kesombonganku, yang berani berkata jujur dan bila ini adalah permainanmu maka apa yang harus dipikirkan." Sepertinya Ia tak kuasa menahan hangat mata dan airmata mengalir tanpa diminta.
Ia teringat masa lalu bersama seseorang yang telah berlalu. "Oh,.. dia yang berwibawa telah menjadi milik seseorang. Dia memang pilihan tapi bukan terpilih untukku. Aku tahu dia orang yang patuh sampai sang Guru menitahkan untuk menikah, dia melakukannya."
***
Meski tangis tak bisa menyelesaikan masalah, tapi mengapa tangis selalu mengiringi hidup, kadang senang juga diiringi tangis. Kebahagiaan macam apa yang seharusnya dicari oleh perempuan semacam aku. Ataukah kesedihan yang memberangus, memporakporandakan kenyataan yang memang seharusnya aku jalani. Dalam bayang-bayang tangisannya, dengan sesenggukan ia ingat dawuh ibu, “Nok…, kala berkurang apa yang membuatmu senang, maka kuranglah pula apa yang engkau sedihkan”
Rasanya dawuh itu terngiyang dan berdenging di hati, membidik kesendirianku dalam tangis. “Kesedihan macam apa yang aku lakukan, dia tetap tak mendengar, buat apa bersedih. Nok, kamu harus kuat. Nok, kamu harus tegar,” ia berbicara sendiri, menguatkan batinnya.
“Jika dia telah melupakan aku, mengapa aku harus mengingatnya. Bila dia telah meninggalkanku mengapa aku harus menunggunya. kala dia bukan untukku mengapa dipikirkan?”
Ia kembali mengingat-ingat kata yang pernah ia dengar dari dia - yang menulis surat - ketika awal bertemu, sebuah pertanyaan yang tak pernah ia jawab, “Lebih baik mana dicintai atau mencintai?”
Dan ia kembali terngiang sesuara ibunya, dawuh yang merasuki hatinya, “Nok, orang yang tidak mengetahui nilai nikmat tatkala memperolehnya, ia akan mengetahui tatkala lepas darinya”
“ Tapi mengapa aku, mengapa dia?”
:
Gambar dari
0 comments:
Post a Comment