(L)"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi! The number you are calling is not active or are out in coverage area. Please try again in a few minute"
Sebenarnya, tidak ada suasana kalut ataupun carut marut hubunganku dengannya. Semua berjalan apa adanya. Biasa saja. Ia tidak marah, aku pun juga. Namun ada sesuatu yang hilang dalam ketidaktahuanku, ketika aku sendiri merasa kehilangan karena tidak bisa menghubunginya lagi.
Beberapa malam lalu, aku terbius kemesraan yang menyita kenyataanku. Terutama menyiksa kesadaranku sebagai laki-laki sempurna. Ia datang dalam ketidakpastian kata hati yang menerawang jauh meninggalkan saat-saat di mana aku sedang sendiri. Seakan ia menemani aku selalu, meski hanya suaranya saja. Aku tahu akan hal itu, tentunya. Tapi yang aku tak tahu, ia datang menggodaku atau aku yang terlalu kotor berpikir akan dirinya. Aku mengeksploitasinya.
Dan saat ini, Apa yang aku takutkan sewaktu terakhir menelponnya, benar-benar terjadi kini;
”Ada dua hal yang paling aku takutkan, ketika aku harus memutuskan untuk tidak mengontakmu sementara ini. Pertama, aku takut kau pergi. Kedua, kau akan berubah,” ucapku kala terakhir kali menelponnya.
Ia diam. Membisu. Tak ada isak tangis, tak ada sedih. Bahkan ia kemudian hanya tertawa kecil, riang penuh keceriaan. Menghinaku. Seakan ia ingin mengujiku untuk tidak mengontaknya. Akankah sanggup untuk tidak menelpon? Tanya hatiku.
Kemudian kami hanya sama-sama berjanji untuk tidak berubah satu sama lain. Sebab ini satu konsekuensi kami berdua untuk tidak saling mengontak sementara waktu ini.
***
(P)
”Engkau adalah orang yang merdeka dari segala yang engkau berputus darinya dan adalah budak bagi segala yang engkau ingin terhadapnya.”
Masih kuingat, kata bijak itu menyertai ia berkata-kata. Aku tidak tahu mengapa ia berkata begitu dan mengapa ia menghubungiku terus menerus. Ia tidak merayu, hanya bercerita yang konsekuensinya entah.
”Kamu mau jujur kepadaku, aku tidak tahu. Kamu mau bohong kepadaku, aku juga tidak tahu. Aku percaya padamu,” katamu suatu waktu kala yakinkan aku akan cerita usangnya.
Dan begitulah selama ini, meski hanya lewat handphone. Dia di sana, aku di sini. Kami berdua sering saling kontak untuk berbagi kata, berkeluh kesah di kisah sehari-hari. Bercerita seputar kehidupan tanpa arah dan komitmen. Aku hanya mengimbangi apa yang sebenarnya terjadi, intinya aku pasif sebagai pendegar. Tapi kadang aku bumbui garam kata agar tambah nikmat selera masakan bercakap-cakap kami.
Aku hanyalah seorang perempuan. Mahasiswi semester awal-awal yang masih panjang arungi kehidupan untuk menuju kedewasaan. Aku ingin mempunyai banyak teman, yang enak diajak ngobrol kujadikan teman. Aku menaggapinya biasa. Tapi, aku tak tahu, mengapa juga aku mau berbagi dengan orang yang entah ia baik atau akan jahat kepadaku. Entah bohong atau benar ceritanya. Dan aku juga tidak tahu, kenapa pula kami bikin kesepakatan untuk tidak saling kontak sementara waktu ini.
Ia katakan, kasihan; bila terus menerus mengontak akan mengganggu tugas-tugas studiku. Harusnya kan aku mencegahnya supaya dia mau terus mengontakku. Aku tidak merasa terganggu, kok. Justru aku ada yang menemani.
***
(L)
Aku terus coba memencet-mencet keyped. Kukirim SMS; failed.
Aku mengontaknya, selalu tak sambung. Ia pergi ke mana? Semua yang berjalan apa adanya berubah jadi penjara yang belenggu pikiranku. Aku belum mengenalnya. Dia hanya seorang perempuan renyah, bersuara sedikit serak basah dan yang paling aku suka, ia mau mengungkapkan ketidaksukaannya langsung, spontanitas. Ia enak diajak sharing soal kehidupan.
”Kau sekedar hanya bisa mendengarkanku, tanpa tahu aku itu seperti apa. Dan aku pun juga begitu, aku tidak tahu kamu. Karena itu, aku menanggapimu biasa, sebab tidak ada satu komitmen special yang ingin kau ungkapkan. Jika kau tak mau mengontakku lagi, ya nggak apa-apa. Meski hanya sementara waktu. Jika kau ingin mengontakku, akan kuangkat, kuterima dengan tangan terbuka. Tapi yang jelas seorang perempuan itu butuh dimengerti,” katamu satu waktu.
Terakhir kali calling, aku hanya merasa kasihan saja kalau terus-menerus menghubunginya. Dan akhirnya, kini dia hilang, tak bisa kuhubungi lagi. Mungkin hanya masalah sim card tidak aktif atau memang ia tidak mau aku hubungi lagi. Aku tak tahu. Andai saja dulu dia tidak miss call. Dan, andai saja dulu aku mencuekinya. Jadinya perasaan ini tidak menghajar kesadaranku.
***
(P)
Aku coba tekan tuts-tuts huruf keyped handphone. Sebaris angka nomor miliknya, siap ku tekan; ok. Tapi, terlebih dahulu nomor kurahasiakan. Aku hanya ingin memastikan dia menungguku atau tidak?
”Silakan tunggu! Nomor yang Anda hubungi sedang dialihkan ke nomor lain. Please wait the moment! Your call is forwarded to another number.”
Mengapa aku ikut-ikutan gila, tapi apa gerangan yang membawaku untuk sekedar miss call dengan merahasiakan nomor. Aku tidak waras. Kesadaranku menguap seperti yang telah ia katakan tentang orang-orang yang seperti diriku ini.
Tapi bisa jadi dia juga seperti yang ia katakan, ”Definisi agama di zaman sekarang sedikit bergeser menjadi apa yang disukai, itu adalah agama. Terlebih lagi bila menimbulkan efek membuat senang dan kecanduan. Orang-orang butuh akan hal yang disenangi, dan tidak bisa lepas dari itu, sampai sangat tergantung padanya. Ya, inilah yang aku maksudkan, ketika aku harus menelponmu terus menerus, yang berarti juga aku telah berganti agama; agamaku menjadi agama seluler. Kadang, waktu tengah malam yang biasanya aku bercumbu dengan Tuhan, aku kini harus menemanimu berbincang. Dan kau lihatlah mereka memuja angka nol. Karena Tuhan mereka angka nol, bukan? Hmm, Tapi seorang akan hambar kalau tak punya cita rasa bicara...?”
Yang kutangkap serta kupahami dari lanjut pembicaraannya bahwa kau anggap tiap perkataan seseorang hanya sebuah kebohongan. Ini satu asumsi miring darimu atas ketidakpercayaan pada orang lain, termasuk aku.
“Tapi, bukankah itu sekarang terjadi. Orang sudah tidak percaya lagi satu sama lainnya,” lanjutnya.
”Berbicara sebenarnya mengungkapkan kata-kata yang hanya diketahui oleh yang mengeluarkan, jika itu tidak menyangkut akan hal lain. Bila menyangkut benda atau hal lain, maka realitas yang ada menjadi saksinya,” ia tarik simpul kata. Dan begitulah kau bercanda tentang kata-kata yang kadang aku malah kurang bisa memahaminya.
Kalau boleh aku berkata jujur, ia hanya lelaki plin-plan yang tidak mau berterus terang, apa yang diinginkan. Dan aku paling tidak suka pada orang seperti ini. Dan seperti yang dikatakannya, aku memang orang merdeka yang tak mau terikat pada apa pun.
Haruskah ini kuteruskan? Apa dia menggangguku atau aku dikatakan termasuk menggodanya, hingga ia terus mengontakku? Antara mengganggu dan menggoda beda tipis, bukan? Aku tidak tahu, kenyataan ini yang menyiksaku. Kuyakinkan diriku sendiri saat ini; aku tidak tersiksa, hanya merasa hambar.
Teman-temanku pun bertanya, "Mana yang suka menelponmu, apa sudah putus lagi?"
***
(L)
Hingga malam ini, aku masih mencoba untuk mengontaknya kembali. Perasaanku kian menyudut kenyataan; aku butuh untuk berbagi. Kesendirian semakin melecut keinginanku agar segera berjumpa dengannya, meski hanya lewat suara. Kalaupun toh nanti dia angkat call, akan aku ajak kopi darat.
Aku terus berpikir ulang, apa aku telah berpindah agama? Telah terubah menjadi penganut agama seluler. Apa aku juga pemuja angka nol? Tapi semua memang bermula dari nol, dari coba-coba untuk memberanikan diri, seperti perkenalanku kepadanya. Dia pun coba-coba miss call, ku tanggapi biasa. Kemudian kucoba mengontaknya. Dia pun menyambut. Kami hanyut. Bahkan sampai tenggelam.
Kini, sendiriku memeluk. Aku dihajar kenangan. Akankah kucoba mengontaknya ataukah kubiarkan kenangan itu terkubur ketidakpastian? Jika aku mengontaknya berarti aku lebih mempercayai nol daripada harus memperlakukan dirinya dengan hormat. Tapi bila aku tak mengontaknya kembali, ruang untuk berbagiku seperti saat-saat suaramu menari-nari ditelingaku, akankah datang kembali?
***
(P)
Hingga malam ini, aku mencoba menanti akankah dia mengontakku. Aku ingin melihat dia sungguh-sungguh nggak terhadap diriku. Bila dia benar mengontakku malam ini, malam yang kita sepakati untuk saling berbicara lagi maka kelanjutannya bagaimana nanti. Aku berusaha setenang mungkin, sebiasa mungkin. Menganggap ini hal biasa, yang tidak mengusikku. Aku tidak tahu, apa dia juga berperasaan seperti aku.
Ah, yang terpenting akan langsung kuterima kontaknya, jika dia mengontakku. Namun, bila ia tak mengontakku, akupun tidak masalah, tadi sore ada nomor baru yang kring di HPku. Dalam memperkenalkan diri, ia katakan mengacak nomor dan kedapatan mengena di nomorku. Tapi, setidaknya hal ini aku tanggapi biasa saja. Tidak berpengaruh. Karena aku juga penikmat bicara.
***
(L)
Hingga malam ini, delusia hebat menjeratku. Aku mempunyai keyakinan kuat tentang sesuatu, tetapi keyakinan itu sama sekali tidak menurut kenyataan. Perasaanku mengeksploitasinya terus mengganggu, bila kucoba untuk mengontaknya. Tapi aku terus coba hilangkan semua ingatan itu. Kuhimpun tenaga, kukuatkan pikiran dan perasaan. Kulogikakan itu, meski tetap larut dikebimbangan.
”Ku call nggak, ya?”
Kucoba tekan tuts angka keyped handphone. Sederet angka kini telah tertulis. Lalu, saat akan aku tekan; ok, bersamaan seketika; nada pangil berdering. Di LCD handphone muncul sederet nomor tak asing. Segara kutekan tombol ok, warna hijau. Di seberang sana, terdengar suara perempuan, memanggil;
”Hallo. Hallo, Mas. Aku sudah di rumah sakit, ketuban sudah pecah. Kapan Mas pulang? Aduh…Aduhhh, Mas”
Istriku memberi kabar akan lahirnya putra kami yang ke tiga.
***
Kediri, 2009-2010
nb: teruntuk teman-temanku yang beragama seluler...
(L) Lelaki
(P) Perempuan
0 comments:
Post a Comment