Antologi Mengenang Gempa 7,9 SR Sumatra Barat.

 
 Judul: Sebilah Sayap Bidadari:Memorilibia 7,9 SR.

         Kumpulan Cerpen dan Puisi mengenang Gempa 7,9 SR Sumatra Barat.

Penulis: Dwi Januanto Nugroho, Nursalam AR, Fira Basuki, Abdullah Khusairi, Dyra Hadi, Nuril Annissa, Igoy el Fitra, Dea Anugrah, Benny Arnas, Asep Sambodja, Irawan Aji, Zelfeni Wimra, Timra Madana Pitri, Mariska Anggraini, Endik Koeswoyo, Yandigsa, Muhammad Sholihin, Raudhatul Usnami, Karina Anggara, Irawan Senda, Sulfiza Ariska, Akhyar Fuadi, Zandika Alexander, Silfia Hanani, Feryanto Heady, Darwis Ramadhan, Galuh Parantri, Arif Puji G. Luckty Giyan Sukarno, Bejo Halumajaro, Pamungkas WH, Gayatri Parikesit, Monica Petra Karunia, Sulistyawati, Rahmad Ibrahim, Haerul Ibrahim, Haerul Said, Addiarahman, Salman Aristo, Dewi "dee" Lestari, Muhammad Nasir, Muhammad Zikri.


Penerbit: Pustaka Fahima

ISBN: 978-979-1355-64-3
Harga: Rp. 40.000,-


(Sebuah Proyek Amal Untuk Korban Gempa)

PROLOG

Meraut Larik-larik Kisah di Balik Gempa

“Untuk apa lagi prosa diproduksi? Ketika dunia sesungguhnya telah menjelma menjadi prosa. Ketika logika hidup, imaji publik, atau peristiwa-peristiwa rutin sudah begitu prosaik.”

--Radhar Panca Dahana: 2005 --

“Ini adalah malam ketika hukum alam berkeliaran dengan matanya menyinarkan balas dendam. Langit pucat dan dingin. Air mata terus mengalir seperti sungai yang tak mau dikeringkan. Jeritan alam melolong bagaikan serigala kelaparan di waktu malam.”

--Sindhunata: 2007 --

Antologi ini ibarat anyaman dari bambu, yang diraut oleh tangan-tangan telaten. Tangan-tangan yang tidak hanya menarikan kata-kata, tapi juga melukis rasa yang membara, terkoyak-koyak rengkah dari ratapan yang meraung di sepanjang malam di patahan sesar semangka, Minangkabau. Menyala bagaikan bohlam yang bersinar remang-remang di bawah parlak pada tanah gempa. Tangan-tangan ini digerakkan oleh rasa bersigesak dari histeris tangis, dramaturgis, dan romantisme yang terhampar dari luluh puing-puing tanah andalas, yang retak.

Di sini, sangat terasa larik-larik kalimatnya yang diraut dari kisah dari tanah gempa, aroma yang menarikan pelbagai sesak. Bagaikan mendaki ke puncak Gunung Merapi. Di puncak itu akan dirasakan udara-udara pengharapan yang menipis. Namun ketika mata dilayangkan, panjang, melihat alamnya yang masih hijau, kembali nafas pulih dalam genta-genta harapan yang masih berbunyi dari langit. Walau sebagian tepi alamnya retak-retak, akibat geliat bumi yang terjaga dari tidur panjangnya. Lempeng-lempeng itu, rengkah. Memuntahkan banyak kisah. Menjadi larik-larik yang dramatis. Menjadi narasi bisu, ketika tangis menggelantung di ufuk jingga keperak-perakan pada rembang petang. Telah menjadi benang-benang yang direntangkan kepada langit. Membawa sejuta doa kepada Tuhan, yang menampar ciptaan-Nya, dengan tamparan penuh hikmah. Ini kemudian yang dijadikan larik-larik cerita pendek dan puisi oleh tangan-tangan yang selalu menarikan kata-kata. Mereka yang menulis dalam antologi ini.

Dari tanah gempa, narasi-narasi menjadi cerita. Dari tanah gempa, tangis menjadi prosa. Dari rengkah tanah itu, harapan mencuatkan kata-kata puitika. Bagaikan sebilah sayap bidadari. Sayap yang dikepakkan, menjadi sebilah duka. Dari desiran sayap itu, ada sejuta bidadari menarikan hikmah. Bagaikan tarian dalam semerbak doa, pada hamparan melati putih di atas pusara yang masih basah. Rerangkai cerita dan puitika dalam antologi “Sebilah Sayap Bidadari; Memorilibia 7,9 Scala Richter”, menjadi telinga yang dilekatkan pada bumi, mendengarkan hikmah yang bergetar dan denyut pesan dari tanah gempa. Lalu dijadikan narasi bisu. Tidak sekadar ekspresi kata, tapi telah menjadi ekspresi hati ketika getar dan ditingkahi gegar, bergoncang.

Hanya hati putih, yang bisa mengukir duka, menjadi lukisan cantik. Secantik mata Monalisa. Membuat mata tak bisa lepas mengeja garis-garis teks bertinta hitam di carik-carik kertas putih ini. Rangkaian cerita pendek dengan topangan puitika ini, akan menjadi memorilibia di rentang zaman. Ia akan menjadi kamar, tempat manusia berkaca dari bandul peristiwa. Menjadi ruang, di mana sepasang mata akan selalu berkaca-kaca ketika memori diputar kembali oleh lorong-lorong peristiwa, melewati labirin-labirin duka.

Antologi ini tidak sekadar untuk menggalang dana kemanusiaan dari royaltinya. Tapi juga menjadi monumen peristiwa di atas gempa yang berkekuatan 7,9 Scala Richter, di sana, di bumi Minangkabau. Bagi penulis yang berhimpun dalam antologi ini, merapatkan jari, lalu menarikan kata hati. Kertas-kertas ini menjadi kanvas, tempat melukis haru yang tumbuh dari butir-butir air mata. Kemudian mengharapkan tumbuh menjadi harapan, yang meningkahi ufuk Sumatera Barat. Ya, lihatlah langit Sumatera Barat masih hijau. Di sana malaikat masih melukis rahmat. Masih ada sejuta senyum bidadari yang mengintip di balik awan ketika melihat bocah-bocah bermain di atas rerumputan, penuh embun, mengejar capung di pagi dan petang hari. Walau phobia atas getar bumi, mengusili mereka, lalu terbirit-birit, menyeruduk ketiak umi dan mandeh mereka. Namun semangat untuk pulih tidak akan pernah dipatahkan oleh gentar dan akan menjadi tunas-tunas hidup yang masih terus tumbuh. Dan mereka yang bertahan adalah bukti, tunas itu masih tumbuh.

Membaca antologi ini, seperti mengeja puing-puing yang masih berserakan di atas bumi yang oleng. Bagaikan merapal mantra. Ia menjadi pengsarahan ketika kisi-kisi hidup berhenti sejenak, tergagap melihat ratanya tiang-tiang kehidupan dengan tanah. Membaca antologi ini, seperti memetik kecapi di tengah malam, ketika hati gelisah dilumat gegar menyaksikan ratapan anak-anak, manusia kehilangan peraduannya. Seperti cecetan burung tandahasih, yang kehilangan pasangan hidupnya. Maka bacalah, agar meraut hikmah dari kisah-kisah dituangkan dari curup tanah gempa yang kami namai “Sebilah Sayap Bidadari; Memorilibia 7,9 Scala Richter.

Share:

0 comments:

Post a Comment