peringatan hari raya






Meski apa yang nanti tertulis dalam catatan singkat di bawah ini, bukan suatu hal baru yang tidak asing lagi bagi kita. Tetapi apa yang ada; baik merupakakan hikmah maupun sebenarnya 'sebuah' Hari Raya itu adalah apa esensi yang dimiliki dan bagaimana ber-makna ataupun mengapa?


 1. Mengenai penanggalan dan penetapan 'Hari Raya', beda bukan merupakan hal baru dalam Islam. Tampak oleh kita mengapa mereka ('petinggi agama'; saya memilih kalimat tersebut sebagai bentuk dari otoritas umat muslim sekarang ini bukan tertentu pada ulama saja, sebab adakalanya saat ini seorang yang mahir dalam ilmu falak juga bisa mencetuskannya ) berkeyakinan dalam memegang dalil-dalil dan metode yang mereka anut? Sedikit catatan mengapa terjadi beda; dalam Ilmu Falak dikenal istilah Hisab dan Rukyatul Hilal dalam menentukan awal bulan Hijriah.

Dan begitulah jika Hisab, ialah melalui metode penghitungan 'matang' pergerakan bulan. Di mana "wujudul Hilal" (wujud bulan yang bisa terlihat di awal bulan dalam cuaca yang baik) ada di tiap sore hari pada akhir bulan Hijriah dan bila telah dihitung sudah mencapai walau 0, sekian derajat (misalkan 0,5/ setengah derajat) berarti besok pasti awal bulan. (Tanpa perlu adannya observasi melihat hilal)

Sedangkan metode rukyah adalah mendapati hilal dengan cara melihatnya dengan mata langsung atau melalui alat bantu (teropong dan alat astronomi lainnya).  Dalam hal ini penganut metode rukyah juga telah menghitung/ meng-hisab terlebih dulu berapa derajat tinggi hilal yang ada di suatu awal bulan hijriah itu. Rukyah biasa dilakukan pada hari ke 29 (yaitu pada sore harinya menjelang/ setelah maghrib) suatu bulan Hijriyah. Para penganut metode rukyah (tahqiqi) memiliki batas 2, sekian derajat (2,.. atau lebih derajat) "Wujudul Hilal". Observasi Hilal pasti dilakukan oleh para penganut metode rukyah. Bila Hilal tidak mencapai ukuran itu (2, sekian derajat) dan kemudian diadakan observasi hilal tetapi hilal tidak tampak karena terkendala cuaca yang tidak bersahabat/ ada mendung atau yang lainnya maka digenapkan menjadi 30 hari.

Titik poin beda dalam masalah di atas; hanya pada batas "wujudul hilal" (0,.. dan 2,.. derajat) dan mereka mempunyai hujah masing-masing.

2. Sebenarnya ada yang lebih bermakna daripada berpolimik dalam beda. Tentang suatu 'peringatan' ataupun 'perayaan', jika menilik dari dua kata tersebut;

- per-ingat-an: mempunyai dua kandungan makna yang berbeda, bisa jadi asli kata 'ingat' yang mendapat awalan kata "per-" dan akhiran "-an" berarti; (1) kenang-kenangan; sesuatu yang dipakai untuk memperingati. Misalkan Hari Raya Idul Adha adalah dalam rangka memperingati peristiwa diwajibkannya berkurban seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim meski harus mengorbankan putranya, yakni Nabi Ismail. Namun bisa pula kata "peringatan" berarti (2) nasihat (teguran dsb) untuk memperingatan. Dalam hal ini tentu berhubungan dengan diri kita masing-masing yakni dengan adanya "peringatan " Hari Raya" seberapakah kita telah berbagi? Sebab Esensi dari ber-Hari Raya adalah berbagi, saling memberi dan peduli. Ada Zakat Fitri di Idul Fitri dan menyembelih hewan kurban di Idul Adha. Dan kesemuannya merupakan pengingat dari Tuhan bahwasanya bersedekah/ memberi berarti penting bagi kebersamaan...

- pe-raya-an: berarti pesta untuk merayakan suatu peristiwa. Tetapi apa yang dirayakan? sesungguhnya dalam Hari Raya adalah perayaan yang berupa "kebijakan" (kewelasa-asihan) Tuhan kepada mahluk, bahwasannya pada hari tersebut diharamkan untuk berpuasa. (silahkan untuk beda menafsiri...)


3. Kadungan hikmah yang mendasar pada "Hari Raya" (Idul Firti ataupun Idul Adha) di samping kewelas-asihan Tuhan, ada pula muatan demokratis yang diagung-agungkan sebagai perlambangan arti kemanusiaan. Mengapa?. Dalam Idul Fitri sudah jelas ber-zakat berarti membantu orang-orang yang membutuhkan dan itu merupakan ruh daripada humanisme. Begitu pula Idul adha dengan sedekah sunat berkurban hewan merupakan pengingat  bagi orang-orang yang mampu/ dicukupi harta bendannya untuk tidak lupa berbagi.

Ada satu ayat yang  mengisahkan tentang Demokrasi dalam rangkuman cerita-cerita yang menghiasi peristiwa Idul Adha; "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
(QS. Ash-shaffaat:102)

Kisah tersebut mengajarkan kepada kita bahwa metode "dialogis" dalam mengajarkan anak sangat didukung oleh ajaran Islam. Kesimpulan ini pula menolak anggapan sebagian orang kalau Islam mengajarkan ummatnya otoriter, khususnya dalam mendidik anak. Dapat pula disimpulkan lain bahwa metode "dialogis" yang merupakan pilar utama dalam demokrasi oleh Nabi Ibrahim telah diajarkan beberapa ratus ribu abad yang lalu. "Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” berpendapat dalam demokrasi adalaah hal lumrah.

(bisa jadi Nabi Ibrahim adalah peletak dasar demokrasi di dunia dan patut meyandang gelar Bapak Demokrasi Dunia)

Demikian tulisan ini saya buat, mohon masukan, kritik serta dalog yang membangun demi kebersamaan kita!

Kediri, 10 Dzulhijah 1431 H/ 17 November 2010 M

nb: dari berbagai sumber
- KBBI
- facebook
-Reza Zakaria, Pengajar Ilmu Falak di Pondok Pesantren Lirboyo
- gambar dari
Share:

0 comments:

Post a Comment