Sempat aku bercerita kepada dia yang mengikutiku saat aku bertemu cahaya di ujung lorong ini. " Mengapa juga kau selalu mengikutiku," Tanyaku seketika mengagetkannya. Dia terdiam, menunduk sama juga aku. Aku mulai menerka apa yang dia diamkan.
Dalam benakku dia mulai menyahut,
"Kau tahu cahaya yang ada di depanmu membuat aku merasa lahir kembali. Seperti halnya khayalanmu tentang dia. Kau tahu tentang dia, tentunya?"
"Ah, kau tahu apa tentang dia yang aku inginkan," Tanyaku.
"Buka begitu maksudku, coba kau jernihkan dulu pikiranmu. Mengenai 'dia'. Dia yang bukan aku atau kau hanya akan merasakan itu; hanya dalam khayalan," jawabnya.
"Hmm, lalu apa kita tidak merasakan dulu tentang dia, walau hanya dalam khayalan," sahutku sambil berlalu.
Dia tidak menyahut, berlalu begitu saja sama seperti aku yang semakin menuju cahaya.
Aku kadang silau dengan cahaya. Tak mampu menangkap terangnya.Ada keindahan tersendiri di dalam partikel-partikel sinar yang tidak dapat aku bayangkan.
"Coba kau lihat dirimu, selalu memicingkan mata bila bertemu cahaya, " kata dia yang tiba2 saja sudah ada di dekatku.
"Hei, kau mengagetkanku. Tapi apa daya bila kau juga selalu muncul ketika aku bertemu cahaya. kau memata-mataiku"
"Kau jangan salah sangka, mungkin aku datang sebagai penyeimbang bagi ketidakberdayaanmu"
"Ketidakberdayaan apa? Tapi mengapa kau selalu mengikutiku,"
lagi-lagi dia tak menjawab, berlalu begitu saja sama seperti berlalunya aku melintasi cahaya itu.
aku mulai suntuk kepada dia, sepertinya dia mengganggu, menghantuiku jika aku melihat cahaya. Ingin aku sekali waktu beradu argumen "mengapa dia mengikutiku" atau kalau perlu mengajaknya berkelahi. Setiap kali aku bertanya tentang itu, dia selalu diam terpaku pada ketidakpedulian pertanyaanku dan akan menghindar bila aku juga menghindari cahaya.
"APA YANG DIA MAU?"
kadang huruf besar yang di-bold menegasi tentang apa perkara yang dihadapi. Seperti penulisan dengan di-stabilo sebagai pengingat pada satu hal yang pernah kita membaca baris itu. Tapi ini kelihatanyanya beda, aku merasakan ketidakmampuanku menerjemahkan dia yang hanya menjadi khayalanku.
"Jangan terlalu banyak berkhayal, tidak baik untuk masa depanmu dengan dia," katanya yang seketika itu muncul tiba2 ketika aku ada di dekat cahaya.
Aku ingin menghardik dia, "hey.. apa maumu?"
****
"Apa yang dia mau," seperti itu katamu. Aku tahu kau merasakan ketidakbisaan menjelajah tanpa adanya aku. Memang benar, aku selalu hadir ketika kau mendekati cahaya. Tapi aku tidak mengganggu-mu sebab aku tak ada di depanmu, tidak menghalangimu. Aku hadir hanya di belakangmu, jauh hanya melihatmu ketika kau berhadapan dengan cahaya.
"Apa yang dia mau," jelas itu katamu. Kata yang meragukan dirimu sendiri. Disini aku hanya bisa melihatmu bahkan aku diam ketika dirimu bicara, aku hanya mendengarkan. Kau juga tahu kalau aku tidak bisa meninggalkan dirimu. Tapi sekali lagi, aku tidak mengganggumu.
"Jangan kau salahkan dia," mungkin itu yang harus dikaji ulang atau didaur ulang dalam otakmu. Sebutlah aku yang menggangu dan jangan salahkan dia. Karena aku tahu dia tidak salah. Kesalahan-kjesalahan kadang membuat dirimu terperangkap dalam lekuk ketidakbedayaanmu. aku tahu itu, sebab aku bagian dari jiwamu. "hah,.. Jiwa yang kering," itu kalau boleh aku katakan terhadap dirimu dan aku tahu kau ragu bukan tak mau.
pernah kau katakan, "Cahaya yang menyelubungi "dia" pasti akan membuat semua kelopak mata merapatkan pandang dan pupil hanya mengintip di balikya." Apa yang kau maksud dengan kata-kata itu? Jelas, ketidakberaniannmu sama seperti ketidakjelasanmu menjelaskan: APA YANG KAMU MAU.
Karena aku hanya bayanganmu, maka apa kau juga tahu ketika aku juga rindu bertemu cahaya.
ke diri Oktober/2011 (ofaCentrum)
0 comments:
Post a Comment